Chapter Nine [The End]

Start from the beginning
                                    

Ia langsung pergi ke bandara dan memesan tiket menuju Manhattan, tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya kasihan karena air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

***

*WAJIB: play lagu yang di multimedia ya:)*

NOTE: Tulisan yang di bold-in itu batinnya Harry ya ceritanya x

9 Jam Kemudian, Manhattan.

Harry terus menatapi batu nisan yang berada di hadapannya, seakan tak percaya bahwa itu adalah batu nisan milik perempuan yang ia cintai. Kenapa kau meninggalkanku, Hazel? Kenapa kau meninggal disaat aku tidak ada di sampingmu? Kenapa?

“Ia menulis surat ini untukmu,”—Dr. John memberikan sepucuk surat kepada Harry—“Dulu, aku yang memberikan surat darimu kepada Hazel, sekarang aku yang memberikan surat dari Hazel kepadamu.”

Harry tidak menjawab, ia merasa mulutnya terjahit rapat sejak Dr. John memberitahu kabar tersebut. Mulai sekarang, Harry tidak mempunyai semangat hidup lagi. Dia berbohong ketika ia bilang bahwa ibunya masih ada.

Harry membuka amplop yang membungkus surat Hazel, lalu membacanya secara perlahan…

Aku tahu, saat kau membaca ini, aku sudah kalah melawan penyakit kanker darah

Aku tahu, pada akhirnya aku akan meninggalkanmu

Aku tahu, pada akhirnya kematian akan menjemputku

Karena kematian adalah sesuatu yang pasti

Kau ingat saat pertama kali kita bertemu di sebuah kedai kopi dan kau mengeluarkan kalimat-kalimat bijakmu itu?

Kau ingat saat aku mengejekmu orang tersok bijak?

Kau ingat ketika kau menjagaku semalaman suntuk di rumah sakit?

Kau ingat ketika aku kembali ke kamar rumah sakit setelah selesai melakukan kemoterapi, kau sudah menghias tempat tidurku bertuliskan ‘You are the strongest girl I have ever met’ dengan coklat dan permen kesukaanku?

Kau ingat ketika kita bertengkar?

Kau ingat ketika kau memutuskan untuk pergi ke London dan meninggalkanku sepucuk surat?

Kini aku yang meninggalkanmu dan memberimu sepucuk surat. Bedanya, aku akan meninggalkanmu selama-lamanya.

Aku ingat, Hazel. Aku ingat semua itu. Aku tidak mungkin melupakan semua kenangan bersamamu, tidak akan mungkin.

 

Pada akhirnya, hanya kenangan yang akan terus bersamamu, bukan aku.

Pada akhirnya, kita tidak akan pernah bisa bersatu.

Air mata Harry terjatuh satu-persatu. Hatinya yang semula sudah rapuh, kini semakin rapuh. “Kenapa Tuhan memisahkan kita terlalu cepat?” gumam Harry. Ia menjadi sulit bernapas akibat tangisan yang ia keluarkan.

Lalu seakan tak peduli jika nanti air matanya menjadi deras, ia membaca surat itu kembali.

Jangan menangis, Harry. Untukku, air matamu itu lebih mahal dari mutiara ataupun berlian. Air matamu itu terlalu mahal untuk dikeluarkan. Jadi, jangan menangis. Aku tak mau kau menangis hanya karena aku—aku sangatlah tidak pantas untuk kau tangisi.

Dan, sehabis ini—aku minta kau jangan pernah kehilangan semangat untuk hidup. Jika kau rindu padaku, lihatlah bintang-bintang yang bersinar di malam hari, karena ketika kau melihat bintang-bintang itu, aku juga sedang melihatmu. Semula, aku ingin menjadi bintang yang menyinari hari-harimu agar kau tetap bahagia. Tapi aku berpikir, jika aku menjadi bintang itu dan tiba-tiba aku menghilang, apakah kau akan tetap bahagia tanpaku?

Jadi ketika aku merasa aku akan mendekati ajalku, aku merubah pikiranku—aku ingin menjadi bintang yang bersinar di malam hari, agar kau tidak akan pernah melupakanku. Karena setiap kali kau melihat ke langit di malam hari, maka kau akan teringat pada diriku.

Selamat tinggal, Harry Edward Styles.

Terima kasih telah selalu ada untukku.

Terima kasih karena kau aku merasa dipedulikan.

Terima kasih, Harry. Terima kasih atas segalanya.

Selamat tinggal, aku mencintaimu.

You are my first & last summer love.

Kini, air mata Harry mengalir deras layaknya air terjun. Ia bahkan tak peduli jika Dr. John atau Jake menatapnya. “Selamat tinggal, Hazeline Anne Thompson. Aku mencintaimu, dan semoga kau tenang di sana.”

Air matanya menyentuh batu nisan milik Hazel, ia juga tak henti-hentinya mengelus batu nisan tersebut. Jika saja aku tidak pergi ke London, pasti kau akan meninggal ketika berada di sampingku, Hazel.

“Harry, aku akan pulang bersama Jake,” ucap Dr. John. “Kau mau ikut?”

“Tidak,” tolak Harry. “Terima kasih telah menawari, Dr. John.”

Dr. John tersenyum dan pergi menjauhi makam Hazel bersama Jake.

Harry kembali menatapi batu nisan Hazel, tetapi kini dengan tatapan yang berbeda.

Kau adalah satu-satunya orang yang menyemangatiku untuk hidup, dan sekarang kau pergi meninggalkanku sendiri? Aku bahkan tidak bisa membayangkan hidupku ke depan akan seperti apa—aku tak bisa hidup tanpamu.

Sebelum aku bertemu kau, Hazel—aku sempat beberapa kali berniat untuk membunuh diriku sendiri. Aku sama sekali tidak menyesal telah datang ke kedai kopi itu, dan duduk bersamamu.

Kau ingat lagu apa yang di putar ketika kita berdua berada di kedai kopi itu? Ya, If I Knew dari Bruno Mars. Kurasa jika aku mengganti liriknya sedikit, lagu itu akan sangat cocok untukku sekarang.

If I knew one day you'd left me first because of that cancer, aku tidak akan menusuk Jake agar dia bisa mendonorkan tulang sum-sum belakangnya untukmu—dan kau tidak akan meninggalkanku duluan.

***

THE END!

A/N: Makasih buat kalian yang selama ini udah mau baca dan kasih jejak, itu berarti banget buat aku. Dan ini kan chapter terakhir, boleh ga kalian ga cuma vote aja? Kasih COMMENT juga hehe, soalnya di chapter kemaren yang comment cuma 2 :" aku kan jg pengen tau tanggapan kalian semuaa :( bikin cerita itu ga gampang loh

Oh dan maaf banget kalo feelsnya ga dapet :(

& Baca ceritaku yang lain yaa judulnya Indecisive atau Heart of Locks.

 [SEQUEL, YAY OR NO?]

Bye!

My First & Last Summer LoveWhere stories live. Discover now