Chapter Two

1.6K 157 28
                                    

Tuesday, June 17th 2013

Manhattan, New York, United States

7.24 PM

-Author's POV-

Hazel mengibaskan rambutnya yang menutupi wajahnya ke belakang. Ia melangkahkan kakinya menuju kedai kopi yang baru di buka di kota Manhattan yang indah ini. Kedai kopi kecil itu terlihat sudah dipenuhi oleh masyarakat kota Manhattan.

Ia berjalan menuju barista yang berdiri di belakang bar kopi tersebut. “Apakah masih ada meja yang kosong?” Tanya Hazel.

Barista paruh baya yang bernama Hillary itu mengangguk patuh seraya tersenyum lebar. “Ah, anda sangat beruntung, Nona!” kata Hillary. “Masih ada satu meja kosong, kedai kopi ini sangat penuh karena hari ini kami mengadakan diskon sangat besar. Kau mau pesan apa, Nona?”

“Cappucino dingin saja, ukuran medium.”

“Baiklah, anda bisa menunggu di meja dekat jendela besar tersebut. Saya akan mengantarkan cappuccino dingin anda ke meja itu,” ucap Hillary yang sekarang sudah mulai membuat cappuccino dingin pesanan Hazel Thompson.

Hazel mengangguk dan langsung bergegas menuju meja yang di instruksikan oleh Hillary. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, kedai kopi ini adalah tempat yang sangat nyaman. Lampu disini sengaja dibuat sedikit gelap agar membuat kesan nyaman, lampu-lampu kecil ditempelkan pada dinding, dan untuk tambahan, di setiap sudut di letakkan sebuah speaker kecil yang memutar lagu-lagu sangat bagus.

Tak lama setelah ia duduk, ada seseorang yang datang ke meja yang ia duduki. Hazel, yang sedang menundukpun langsung mengarahkan pandangannya ke atas–karena ia mengira bahwa orang itu adalah barista yang akan mengantarkan cappuccino dingin pesanannya–tetapi ia salah, orang itu adalah seorang laki-laki berambut ikal dengan mata berwarna hijau.

Laki-laki itu tersenyum, memperlihatkan lesung pipitnya yang dalam. “Bolehkah aku duduk disini?” Tanya laki-laki itu. “Kedai kopi ini sangat penuh, tidak ada meja kosong lagi. Namun aku melihatmu duduk sendirian, jadi…”

Hazel tidak mendengarkan ucapan laki-laki itu yang selanjutnya, ia menoleh kesekitar dan benar saja, kedai kopi ini benar-benar penuh. “Baiklah… Kau boleh duduk disini,” ucap Hazel.

Laki-laki berambut ikal yang sedang memegang dua gelas kopi itu duduk didepan Hazel, Hazel menatapnya bingung karena ia memegang dua gelas kopi ditangannya. “Ini cappuccino dingin-mu,” ucap laki-laki itu seraya menyodorkan cappuccino dingin ke arah Hazel. “Ngomong-ngomong, siapa namamu?”

“Terima kasih karena telah membelikanku cappuccino dingin. Ngomong-ngomong, Thompson–Hazel Thompson,” balas Hazel. “Kau?”

“Harry Styles,” ucap Harry, mengulurkan tangannya. “Senang bertemu denganmu, Hazel.”

*Dengerin lagu yang ada di multimedia yaaa*

“Senang bertemu denganmu juga, Harry.” Hazel menyesap cappuccino dinginnya dengan di iringi lagu If I Knew dari Bruno Mars. Ia selalu menyukai Bruno Mars, karena lagu-lagu dari Bruno Mars tidak pernah mengecewakannya–atau tepatnya–ia menyukai seluruh lagu dari Bruno Mars.

Harry menatap Hazel dalam-dalam, tentunya tanpa sepengetahuan Hazel. Karena ia tidak mau dianggap orang aneh. Wajahnya terlihat sangat pucat, ia juga terlihat seperti tidak mempunyai semangat untuk hidup. Akhirnya, dengan seluruh keberaniannya, Harry menanyakan sesuatu kepada Hazel, “A–apakah k–kau sehat?”

Sontak, Hazel membelalakkan matanya dan tenggorokkan ia tersedak. Bagaimana orang ini bisa tahu? Batin Hazel. “Y–yeah… Aku sehat, sangatlah sehat,” ucap Hazel berbohong. Tetapi hidungnya tidak bisa berbohong, hanya beberapa detik setelah ia mengucapkan kata-kata itu, hidungnya mengeluarkan darah yang sangat banyak. Harry yang melihat kejadian tersebut, langsung mengeluarkan sapu tangan Dior miliknya dari saku celana.

Harry memberikan sapu tangan itu kepada Hazel. “Kau berbohong,” ucapnya. Namun Hazel tidak mengacuhkannya, ia tetap sibuk membersihkan darah dari wajahnya. “Sebenarnya, kau ini sakit apa?” Tanya Harry, tetapi sekali lagi, Hazel tidak menjawabnya.

Sesudah darah yang mengalir dari hidungnya mulai berhenti, Hazel menghela nafas panjang dan menyesap cappuccino dinginnya kembali. “Yah–berikan aku satu alasan mengapa kau benar-benar ingin tahu aku menderita penyakit apa,” ucapnya. “Bisa saja, aku hanya terkena demam tinggi, bukan?”

Harry terkekeh. “Tidak mungkin,” katanya. “Aku ini mahasiswa fakultas kedokteran. Kau tidak akan bisa menipuku, lagipula, badanmu sama sekali tidak panas, eh?”

“Jika kau benar-benar mahasiswa fakultas kedokteran, itu berarti kau bisa mengetahui penyakitku tanpa pemberitahuan dariku, bukan? Aku hanya akan memberitahumu satu petunjuk… Penyakit ini sangat menyebalkan, aku harus rela kehilangan rambutku demi kesembuhanku.”

“Sudah jelas sekali, kanker darah,” ujar Harry. “Atau lebih dikenal dengan nama leukimia. Apakah kau sudah melakukan kemoterapi?”

Hazel tersenyum miring mendengar pertanyaan Harry, mengingat ia tidak akan mau melakukan kemoterapi. Ia tidak mau kehilangan rambutnya yang mempunyai banyak kenangan. “Tidak, dan kurasa–tidak akan.”

“Aku tahu kau tidak mau kehilangan rambutmu itu… Tetapi jika kau ingin sembuh, kau harus melakukan kemoterapi.”

“Memangnya tidak ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit ini?” Tanya Hazel. “Lagipula, aku tidak lagi ingin bebas dari penyakit ini. Aku menyerah. Untuk apa aku sembuh, kalau bahkan, kakakku sendiri tidak peduli denganku? Oh dan kedua orang tuaku–mereka sudah meninggal dunia.”

“Untuk kedua orang tuamu, dan dirimu sendiri,” balas Harry, kali ini ia mengucapkannya dengan sangat serius. Matanya menatap Hazel lurus. “Dan jika kau tidak mau melakukan kemoterapi, masih banyak cara untuk menyembuhkan kanker darah. Seperti; terapi biologi, terapi radiasi, transplantasi sel induk.”

Hazel menyesap kembali cappuccinonya yang sudah mulai dingin. Ia bimbang, ia bimbang harus bagaimana. Ia seperti orang yang tersesat di hutan, tidak tahu harus bagaimana. Kini hidupnya bagaikan air di atas daun talas, tidak mempunyai pendirian.

Harry tetap menatap Hazel dalam-dalam, selama beberapa detik ia sedikit berharap Hazel akan mengatakan sesuatu. Tetapi nihil, ia terlihat sedang berpikir keras. Harrypun memutuskan untuk berbicara kembali, kali ini berharap lagi agar kata-katanya bisa memotivasi Hazel, “Selama kau mengalami penyakit leukimia, mungkin kau sangatlah lelah jika harus pergi ke rumah sakit setiap hari dan merasakan penderitaan yang sangat dalam saat kau melakukan terapi. Tetapi ketika kau sembuh dari penyakit mematikan itu, kau akan menyadari bahwa kau adalah perempuan terkuat yang pernah ada di dunia ini.”

“Kau itu adalah laki-laki tersok bijak yang pernah kutemui, camkan itu di kepalamu,” ucap Hazel, tetapi jauh di dalam hatinya, ia terkagum-kagum oleh apa yang baru Harry ucapkan. Setelah orang tuanya sudah tiada, tidak ada lagi orang yang mau memotivasi Hazel agar ia sembuh–mungkin itu salah satu penyebab mengapa Hazel menyerah. Namun kini seseorang yang baru datang ke kehidupannya dan memotivasinya dengan kata-kata yang sangat bagus.

Harry terkekeh mendengar ucapan gadis yang berada di depannya itu. Ia tidak memilih untuk berbicara lagi, karena tenggorokannya sudah mulai kering dan ia sudah kehabisan akal untuk merangkai kata-kembali. Iapun menyesap kopi yang sudah di beli olehnya tadi, penampilan kopi tersebut sangat menarik, di atas kopi itu ada susu kental manis yang melingkar. Rasa kopi itu juga sangat nikmat, ia sama sekali tidak menyesal datang ke kedai kopi ini.

“Dokter–”

“–Aku belum menjadi seorang dokter.”

“Ck, terserah kau saja,” ucap Hazel jengkel. “Maukah kau jika kita bertemu lagi esok hari di kedai kopi ini pada pukul 4 sore?”

“Ya, tentu saja aku mau. Aku mendapat libur selama satu bulan penuh, lumayan bukan?” kata Harry. “Dan bolehkah aku memiliki nomor-mu?”

“Tidak.”

Hazel bangkit dari tempat duduknya dan pergi keluar dari kedai kopi ini, samar-samar ia melihat Harry tersenyum miring melihat tingkahnya. Disisi lain, Pearson sudah membukakan pintu mobil peninggalan kedua orang Hazel. Hazelpun memasuki mobil miliknya dan melontarkan sebuah senyuman kecil kepada Pearson.

****

TO BE CONTINUED

A/N: Jangan lupa vomments! :)

My First & Last Summer LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang