Chapter Nine [The End]

1.4K 150 26
                                    

Jake yang sedari tadi menunggu Hazel untuk keluar dari kamar mandinya, kini memutuskan untuk mendekat ke kamar mandi. “Hazel?” ujarnya. Tapi tak ada yang menjawab. “Hazel?” ulangnya. Lagi-lagi, tak ada jawaban.

DUBRAK

Jake mendobrak pintu kamar mandi Hazel saking kuatirnya. Tapi betapa kagetnya dia ketika melihat tubuh sang adik terbaring di lantai dingin kamar mandi, dan sama sekali tak bergerak.

Ia berjongkok di kamar mandi. “Hazel?” tak ada jawaban.

Curiga, akhirnya Jake memeriksa denyut nadi Hazel—dan hasilnya nihil. Hazel juga terlihat sudah tidak lagi bernapas. Dan di detik itu, Jake tahu bahwa dia sudah kehilangan satu-satunya orang yang berarti baginya, satu-satunya orang yang ia sayangi—adik perempuannya—Hazel.

Pelupuk matanya sudah terbasahi oleh air mata, tapi kali ini ia tidak mau menahan tangisannya. Ia membiarkan air mata itu mengalir karena kesedihannya yang mendalam. “Hazel, seharusnya aku mendonorkan tulang sum-sum belakangku sedari dulu,” kata Jake. “Seharusnya dulu, aku tidak melarikan diri. Aku seharusnya tidak egois, aku seharusnya tahu bahwa kau membutuhkanku.”

“Tapi sekarang, semuanya sudah terlambat,” sambung Jake. Air matanya mengalir semakin deras. “Sekarang, kau sudah menyusul kedua orang tua kita.”

Ia memeluk Hazel dengan erat lalu berkata, “Semoga kau bahagia disana, Hazel. Aku menyayangimu.”

***

Setelah pemakaman Hazel, Dr. John dan Jake merenungkan diri di rumah yang sekarang otomatis hanya menjadi milik Jake. Tidak, mereka tidak berbicara—mereka hanya berdiam diri meratapi kesedihan mereka masing-masing. Keadaan itu sudah berlangsung selama satu jam.

“Aku akan menelepon Harry, dia berhak mengetahui bahwa Hazel sudah tidak ada,” ujar Dr. John. “Aku yakin sekarang Hazel sedang menunggu untuk dikunjungi oleh Harry.”

Jake yang mendengarnya langsung menjadi begitu emosi. “APA? KAU AKAN MENELEPON HARRY? KAU AKAN MENELEPON ORANG YANG SUDAH MENYEBABKAN HAZEL MENINGGAL?”

“Harry bukanlah orang yang menyebabkan Hazel meninggalkan dunia ini, Jake!” tukas Dr. John.

“Dia menusukku, Dr. John!” seru Jake. “Dan aku tidak bisa mendonorkan tulang sum-sum belakangku karena kejadian itu! Jadi kusimpulkan bahwa Harry Styles-lah orang yang membunuh adikku satu-satunya.”

Dr. John menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar kesimpulan Jake. Ia berkata, “Mereka saling mencintai, Jake. Adikmu—Hazel—mencintainya!” kata Dr. John setengah berteriak. “Aku akan menelepon Harry agar nanti ketika Hazel berada di surga, ia sudah tenang.”

Perseteruan antara Dr. John dengan Jake terhenti ketika Jake mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dr. John. Ia sadar bahwa Dr. John benar, Hazel haruslah tenang ketika sudah berada di surga nanti.

Dr. John mengetikkan nomor telepon Harry, dan langsung menekan tombol berwarna hijau.

“Halo, Harry,” sapa Dr. John muram.

“Ya? Ada apa, Dr. John?” tanya Harry melalui sambungan telepon.

“Hazel….”

“Ada apa dengan Hazel?” tanya Harry lagi. “Apa dia sudah membaik? Atau malah sudah sembuh?”

“Tidak, justru kebalikannya, Harry,” kata Dr. John memberitahu. “Hazel telah menemui ajalnya, ia telah meninggalkan kita."

Hati Harry terasa tertusuk oleh pisau yang sangat tajam, tubuhnya membeku, dan tenggorokannya tercekat. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Satu-satunya yang terlintas dipikirannya adalah: kembali ke Manhattan dan mengunjungi makam Hazel. Tidak ada yang lain.

My First & Last Summer LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang