Chapter Seven

1K 122 21
                                    

Dr. John menggelengkan kepalanya. “Bukan aku yang memberikanmu hadiah itu, Nona Thompson. Yang jelas, kusarankan kau membukanya setelah aku keluar dari ruanganmu.” Ia melangkahkan kakinya menuju ambang pintu, namun ia berhenti sejenak ketika sudah sampai di ambang pintu. Matanya menyorot bungkusan coklat dan permen-permen yang terletak di sofa. “Aku sedikit terkejut kau menghabiskan coklat atau permen-permen itu, Nona. Biasanya, pasien yang habis melakukan kemoterapi akan kehilangan nafsu makannya.” Ia menutup pintu kamarku, dan berjalan entah kemana.

Aku yang tentu saja penasaran, langsung membuka kertas biru yang membungkus sebuah kotak berwarna biru juga. Biru–warna kesukaanku. Bukankah satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui warna kesukaanku hanyalah Jake? Mungkinkah ini sebuah hadiah dari Jake untukku?

Aku membuka penutup kotak tersebut, yang pertama kali kulihat adalah sebuah surat yang juga terbungkus oleh amplop berwarna biru. Akupun membuka amplop itu dan membaca isi surat yang diberikan oleh seseorang yang belum aku ketahui.

Halo, Hazel.

Bagaimana kabarmu? Baik-baik saja bukan? Aku senang karena akhirnya kau ingin melakukan kemoterapi, Hazel. Apa yang membuatmu melakukan kemoterapi? Apakah karena laki-laki itu atau karena aku–satu-satunya anggota keluarga kita yang tersisa? Aku tidak begitu peduli dengan jawabanmu, tetapi aku ingin kau tahu bahwa suatu saat, kita pasti akan bertemu kembali. Aku berani menjamin itu. Dan ketika kita bertemu, aku akan mendonorkan tulang sum-sumku kepadamu agar kau dapat kembali seperti dahulu.

Omong-omong, apakah kau ingat saat-saat ketika kita berada di taman dekat rumah pada tahun 2004? Jika kau ingat, itulah sebabnya mengapa aku memberikan hadiah ini dengan warna serba biru.

Selamat tinggal, Hazeline Anne Thompson.

Love,

Your one and only brother, Jake Thompson.

Taman dekat rumahku, 2004? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian tersebut. Lalu flashback dari kejadian tersebutpun terbayang dipikiranku.

Aku dan Jake membaringkan tubuh kami di rumput taman. “Hazel, apa warna kesukaanmu?” tanya Jake, ia menatapku sejenak, lalu kembali melakukan sesuatu yang sama denganku–memandang langit biru yang begitu indah pada hari itu.

“Entahlah, Jake. Dulu, warna kesukaanku adalah warna ungu, tetapi hari ini menyadarkanku sesuatu–ternyata biru adalah warna kesukaanku,” jawabku.

“Mengapa kau menyukai warna biru?” tanya Jake kembali dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Itulah tipikal Jake, ia selalu berbicara santai–membuat orang yang mendengarnya merasa nyaman.

“Karena menurutku, biru adalah warna yang damai. Ketika aku melihat langit yang berwarna biru, aku merasa hatiku begitu damai, dan untuk sejenak, aku bisa melupakan masalah-masalah yang berada di pikiranku.”

Aku tersenyum tipis mengingat kedekatanku dengan Jake dulu, sampai aku tidak sadar bahwa tanganku menyentuh suatu barang padat yang seperti kalung. Aku melihat ke kotak yang telah diberikan oleh Jake–ternyata itu memanglah sebuah kalung–atau lebih tepatnya, sebuah liontin berwarna biru safir.

Ketika aku hendak membuka liontion biru safir pemberian Jake, Harry tiba-tiba saja keluar dari toilet kamarku. Rupanya, dia sudah selesai menyikat giginya. “Hazel–kurasa aku harus pergi sekarang. Aku ingin membeli makanan untukku dan Ibuku. Apa kau ingin menitip sesuatu?” tanya Harry.

“Tidak, aku tidak ingin menitip apa-apa,” jawabku. “Apakah kau akan kembali?”

Harry menggeleng. “Kurasa tidak, Ibuku meminta tolong agar aku mengantarkannya ke pesta pernikahan saudaraku sehabis aku membeli makanan. Tidak apa-apa, ‘kan?”

My First & Last Summer LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang