9

625 33 3
                                    


*WARNING 18+ story*

"Sabtu ini, pukul lima pagi kita sudah berkumpul di sana," suara Alexa hampir tidak lebih nyaring daripada bisikan trio centil. Entah apa yang mereka bisikkan, namun begitulah mereka. Kadang salah satu trio centil akan berteman dengan murid biasa, lalu tak lama kemudian ia membicarakan betapa rendahnya selera busana teman biasanya tadi dengan anggota geng. Atau mereka akan berpura-pura membutuhkanmu tapi sebenarnya mereka hanya ingin melihat lebih dekat bahan kaus murah yang kau pakai. (-mereka benar-benar menyebalkan. Terutama Rachael.-)

Alexa benci mengakui, namun ia kehilangan semangatnya untuk ikut serta dalam camping ini. Ia bahkan berniat memuntahkan semua sarapannya. Terlalu berdosa baginya untuk bersikap santai saat ini. Ia berdiri di depan kelas, namun pikirannya berada di toilet.

Ya, Alexa butuh toilet sekarang juga. Bukan untuk membuang sisa metabolismenya, tapi untuk yang lain. Toilet tak hanya menampung hal-hal seperti itu saja bukan?. Toilet juga sering menjadi saksi bisu percintaan, nafsu, stres, atau kegundahan. Alexa ingin sekali membuang semua racun pahit di pelupuk matanya. Ia sama sekali tak dapat membendungnya lagi. Teriak sekencang-kencangnya mungkin akan banyak membantu.

Alexa membeku, setelah mengucapkan beberapa kalimat kepada teman sekelasnya ia sama sekali tak dapat melanjutkan, bahkan mustahil. Alhasil, ia berlari keluar kelas sebelum orang-orang menyadari keanehannya. Terutama Jevin. Jika ditanya mengapa, Alexa tak mungkin sudi menceritakannya. Ia bahkan tak punya seorangpun untuk diajak bicara. Lidahnya kelu dan kaku .

Dan kini, Alexa mulai terisak. Ia beruntung tak ada seorangpun di lorong melihatnya menitikkan air mata.

Satu keberuntungan lagi, toilet mulai terlihat di ujung sana. Pintunya yang mulai rapuh bahkan terlihat berharga bagi Alexa. Seakan disanalah tempat teraman untuknya. Tempat yang menerima dirinya untuk masuk. (-sialan! Ada orang didalam-)

Alexa berdiri tegang di depan toilet, menunggu gilirannya. Ia tak bisa menebak siapa yang ada didalam. Bisa jadi guru, kepala sekolah, orang kantin, atau murid lain. Maklum, SMA St. Marianne hanya punya satu toilet. Bisa kau bayangkan betapa sengsaranya petugas pembersih saat melakukan tugasnya terhadap toilet ini.

Pipinya dibanjiri cairan asin dari matanya. Wajahnya sembab dan merah. Ia terlihat seperti tomat matang dari kebun paman Hein. Alexa berusaha merogoh kantong seragamnya mencari tisu, namun tak ada. Ia terpaksa menyeka dengan lengan bajunya perlahan.

Tiba-tiba pintu toilet terbuka. Alexa susah payah menyembunyikan wajahnya dengan rambut dan lengan. Ia benar-benar terlihat aneh saat ini. Benar-benar aneh. Ia biasanya berada di kantin bersama Jevin. Menyantap makanan kantin yang tak sedap itu dan bercengkerama sepanjang jam istirahat. Namun, di sinilah ia. Berdiri di depan toilet busuk dan berusaha menutupi wajahnya dari murid yang tak mau menyingkir sejak tadi.

Tak mau ambil pusing, Alexa langsung meraih kenop pintu yang ada di belakang murid itu. Ia tak masalah meskipun harus setengah memeluk. Wajahnya lebih berharga dari pada pelukan. Tak ada seorangpun yang boleh melihat wajah menangisnya. Sejujurnya tak masalah ia menangis. Yang jadi masalah adalah orang yang bertanya mengapa ia menangis. Alexa terlalu malu untuk menceritakan alasannya.

Sayangnya, pintu toilet tak terbuka. Murid itu menahannya entah bagaimana. "Ada apa dengan wajahmu?" katanya. Alexa terperanjat. Lima detik dibutuhkan Alexa untuk menebak si pemilik suara.

(-Jason?-) .

"Ya, ini aku. Si anak baru yang tampan" ujar Jason.

(-Apa aku mengeluarkan suara?-) Alexa masih berbicara dalam hatinya tanpa mengangkat kepala. Bahkan lengannya masih menutupi wajahnya. "Tolong menyingkir dari jalan" ketus Alexa.

Mr. Vampire and MeWhere stories live. Discover now