OUR LIFE -- 8. GONE

1.4K 96 3
                                    

Pukul 10.00 WIB
Bandara Halim Perdanakusuma.

Setelah melaksanakan pernikahan, Zahra dan Zauf langsung digiring ke London untuk mengemban tugas mereka masing-masing. Perasaan khawatir antara kedua orang tua Zauf dan Zahra sedikit memudar ketika melihat mereka sudah menikah.

Setidaknya, Zauf dan Zahra bisa saling menjaga dan mengingatkan.

"Kami pergi dulu ya Bi, Mi, Mam dan Dad." Pamit Zauf keorang tuanya dan mertuanya. Tangan kiri Zauf enggan melepas pelukannya di pinggang Zahra.

"Elah.. Mentang-mentang udah nikah seenaknya didepan jomblo." Celetuk Zikra menatap malas kedua insan itu. Zahra merona malu sedangkan Zauf tetap dingin dan tidak menggubris perkataan saudara kembarnya.

"Ayo Yunus!  Pesawat kita udah mau berangkat!" Teriak Gibran yang sedang membawa koper dan didampingin kedua orang tuanya, Arfan dan Gina.

"Ck.. Sabar kali bang." Ucap Zikra malas. Kenapa ia harus satu perusahaan dengan Gibran? Perutnya mual seketika. Apa dia hamil? Tentu tidak. Jangan gila deh!

Alasan perutnya mual simple. Dia hanya berfikir kalo Zauf dan Zahra menikah dan diberi tugas di kota yang sama. Jika salah satu dari mereka sakit ataupun lelah mereka bisa saling melengkapi.

Tidur bersama saling menghangatkan. Apalagi yang nganu-nganu bikin ketagihan. Lah kalo sama Gibran? Yakali yekan? Pisang sama pisang? Dijus lah!

Aneh? Tentu saja. Kan author rada-rada stress kebanyakan mikirin doi yang ga dateng-dateng.

"LAMA!!" Ucap Gibran sedikit berteriak lalu menarik kerah baju Zikra dan menyeretnya masuk ke dalam pesawat. Zikra terkesiap dan mencoba menyeimbangkan langkah Gibran.

"Bang apa-apaan sih. Emang gue anak kucing apa maen tarik aja. Untung ni leher masih utuh. Coba kalo kaga? Bisa jomblo sampe akhirat gue." Celetuk Zikra mengusapkan lehernya yang terasa panas.

"Lebay lu lobang kancing." Datar Gibran.

Tiba-tiba ponsel Gibran berdering membuat langkah lelaki itu terhenti sejenak untuk meraih ponsel yang ada disaku celananya.

"Abi? Kenapa dia menelponku? Astagfirullah lupa pamit!!" batin Gibran.

Dengan berat hati ia mengangkat telpon itu dengan wajah yang sedikit meringis dan ia sudah siap jika ayahnya akan mengomel.

"Assalamualaikum ..." Lirih Gibran.

"Wa'alaikumsalam.. Hati-hati kamu Gibran jaga Zikra jangan ampe digondol kucing." Ucap Arfan dengan nada datar. Tapi--garing.

"I.. Iya.. " Ucap Gibran terbata dan sedikit lega mendengar ayahnya biasa saja.

"MUHAMMAD GIBRAN ARGHINA!! KAU MAU MENJADI ANAK DURHAKA HAH? PERGI TANPA PAMIT MAEN NYELONONG AJA KAYA KEDEBONG PISANG!!" Teriak Gina dari seberang sana dengan nada yang naik beberapa oktaf. Gibran hampir saja menjatuhkan ponselnya karna kaget dengan teriakan maut sang Ibu tercinta.

Mom dirimu tega membuat telinga anakmu budek sementara. Dunia terasa pengang karna telpon itu.

"Ishh Umi.. Biasa aja kali. Kaget tau dedek." Ucap Gibran pelan tentu saja dengan tidak tenang.

"HEH!! KAMU YA! BERANI KAMU SAMA UMI IBAM? YAALLAH KENAPA PUNYA ANAK BEGINI BANGET SIH." Celoteh Gina dengan nada yang tidak turun-turun. Sepertinya ia harus diberi paracetamol.

"Ihh iya Umi maafin Gibran. Ibam lupa tadi soalnya pesawatnya dikit lagi mau terbang mi. Ntar kalo ketinggalan kan repot mi. Masa iya Ibam harus ngejar-ngejar eman---" Ucap Gibran terpotong.

AFAF2 : OUR LIFE | ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum