"Siapa yang peduli? Apa reputasi lebih penting daripada nyawa?" Yeonhee mendengus, "Bahkan saat kita tak melakukan apapun bukan berarti kita tak akan terlibat. Selama kita hidup, akan ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun kalau kita mati, semuanya berakhir. Bahkan kalau akhirnya kita harus mati, tidakkah lebih baik kita mati dalam pilihan yang kita buat sendiri?"
Jihan tercenung, lalu tersenyum. Caranya memang agak aneh tapi Jihan tahu kalau itu adalah cara wanita itu menghiburnya. Istrinya memang berbeda dari wanita lainnya. Meski nada bicara Yeonhee terdengar sinis, perasaan Jihan malah merasa lebih baik.
Yeonhee memicing ketika melihat cara Jihan menatapnya. "Kenapa Anda melihat Saya seperti itu?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir kalau kau sangat cantik dan jadi ingin menciummu."
Dengan wajah memerah Yeonhee melotot pada Jihan. Di saat serius seperti ini masih saja suaminya bisa bercanda dan menggodanya. Melihat itu Jihan hanya tertawa.
"Lalu, Apa Anda sudah menentukan akan memilih yang mana?" lanjut Yeonhee mengalihkan pembicaraan dengan raut masam sembari merendahkan suaranya. Kalau pembicaraan mereka ini sampai terdengar, akan sangat berbahaya. Sepertinya karena alasan inilah Jihan memesan ruangan khusus untuk mereka berdua.
"Pertama, tentu kita harus mendiskusikan ini dengan para tetua klan. Tapi menurut pendapatmu, mana yang lebih bagus?" tanya Jihan dengan alis terangkat. Bibirnya menyunggingkan senyum seolah yang mereka bicarakan ini hal biasa yang tak ada hubungannya sama sekali dengan masa depan klan.
"Saya benci keduanya," kata Yeonhee terus-terang. Di sisi Putra Mahkota ada Putri Mahkota beserta keluarga Kang yang pernah membuat masalah dengannya, sementara itu Yeonhee jelas tidak suka dengan Ratu Yun yang suka melakukan metode rendahan untuk mencapai tujuannya. "Akan tetapi jika terpaksa harus memilih, setidaknya Yang Mulia Putra Mahkota bukan orang bodoh."
Senyum Jihan semakin lebar. "Aku juga berpikiran sama."
Setelah pembicaraan itu, mereka kembali ke rumah seolah tak terjadi apa-apa. Setelah mengantar Yeonhee, Jihan mengatakan akan keluar untuk kembali 'mengurus' beberapa hal. Sebelum pergi, Jihan menyuruhnya untuk langsung beristirahat dan tidak usah menunggunya karena Yeonhee pasti sudah lelah. Akan tetapi, dengan hatinya yang gelisah seperti ini, bagaimana mungkin Yeonhee bisa tidur?
Menghela napas, Yeonhee seketika mengerjap ketika sadar dirinya sudah menghabiskan waktu terlalu lama di ruang studi. Tadinya ia berniat mencari beberapa buku yang mungkin bisa membuatnya mengantuk, tapi ternyata ia malah melamun.
Tak ada satupun pelayan yang bersamanya saat ini karena sebagian tengah libur dan baru akan kembali besok pagi, termasuk pelayan pribadinya, Suri. Yeonhee sedikit bersyukur akan fakta ini. Kalau sampai ada pelayan yang melihat dirinya masih terjaga saat ini dan mengadukannya pada Jihan, suaminya yang tukang khawatir itu akan menanyainya macam-macam sampai Yeonhee jengah.
Yeonhee beranjak dan mematikan lilin yang menjadi satu-satunya penerangan dalam ruangan tersebut. Ia tak berminat lagi mencari buku saat ini. Begitu wanita itu keluar ruangan, ia berpapasan dengan Mu Tong yang tengah membawa nampan berisi teh dan kue manis.
Mu Tong membungkuk sebelum berkata, "Apa Nyonya akan beristirahat sekarang? Saya baru saja hendak membawakan ini untuk Anda."
Yeonhee tersenyum kecil. "Kepala Pelayan Mu sampai repot seperti ini. Seharusnya kau juga libur seperti yang lainnya."
"Sama sekali tidak, Nyonya. Saya lebih senang berada di sini melayani Tuan dan Nyonya." Mu Tong segera menyanggah dengan sopan. Yeonhee diam sejenak memperhatikan halaman yang kini lengang. Hanya beberapa pengawal yang tampak berjaga di gerbang dalam yang mengarah ke paviliunnya. Sepertinya Jihan menambah beberapa orang lagi untuk berjaga. Rasa khawatir semakin merambati hati Yeonhee.
"Apa suamiku sudah kembali?"
"Menjawab Nyonya, Tuan belum kembali." Mu Tong menundukkan kepala dan diam-diam mengulum senyum.
Sang nyonya sepertinya tidak sadar. Selama ini tiap kali bertanya soal Jihan pada pelayan, Yeonhee selalu menyebutnya 'Tuan Perdana Menteri' atau 'Perdana Menteri Han' dan tidak pernah menggunakan kata-kata kepemilikan yang intim seperti itu. Melihat Yeonhee yang begitu menghargai jam tidurnya kini masih terjaga dan mengkhawatirkan Jihan, Mu Tong merasa terharu.
"Nyonya, mohon maaf kalau seandainya Saya lancang. Tapi sebelum pergi, Tuan berpesan kalau semuanya baik-baik saja, jadi Nyonya tidak perlu khawatir. Tuan hanya akan khawatir kalau tahu Nyonya belum juga beristirahat sekarang."
"Huh?" Yeonhee terdiam ketika melihat pelayan yang melayani suaminya sejak kecil itu menatap dirinya dengan pandangan berbinar. Tak tahu kenapa, ditatap seperti itu membuat Yeonhee merasa agak malu. Dengan canggung ia menyuruh Mu Tong pergi sebelum melangkah ke kamarnya. Namun begitu melihat kamarnya yang sepi, Yeonhee kembali menghela napas.
Sepertinya ia tak akan bisa tidur nyenyak malam ini.
=====
Sorrryyyy guuuyyss lama banget ya saya updatenya? T_T
Alhamdulillah saya akhirnya lulus dan udah wisuda, hehe *fyuh* tapi ada problem baru sekarang. Ternyata jadi pengangguran lebih susah dan sering dibully T_T
Saya cuman mau bilang maaf banget karena lama update dan makasiiiiihh banyak buat yang masih nunggu cerita ini. Makasih juga buat yang udah baca, vote, dan komen chapter sebelumnya. Maaf yang komennya belum saya bales ... saya akan usahain update lebih sering mulai sekarang ^^
Oh iya karena udah lama ga update tulisan saya beda ga sih? hehe
See u~
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bride Without Virtue
Fiksi SejarahKarena dekrit dari Raja mereka berdua terikat dalam pernikahan. Bagi Yeonhee, yang terpenting adalah menikmati hidupnya dengan santai. Karena itu, ketika di malam pernikahan mereka suaminya berkata, "Aku bisa memberikanmu semua yang kau ingink...
^47^
Mulai dari awal
