^37^

105K 9.3K 272
                                        

Ketika malam menjelang, matahari kembali ke peraduannya dan menghilang, membuat langit yang semula cerah menjadi gelap gulita. Langit malam di musim panas begitu bersih dan tak banyak awan menutupi sehingga bintang yang bertaburan di langit terlihat jelas. Siapapun yang menyaksikan pemandangan ini akan merasa begitu hening dan damai.

Di kediaman Putri Mahkota di Istana Timur, kedamaian malam ini sedikit terusik ketika suara mangkok porselein membentur lantai hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca berserakan dan cairan kecoklatan yang semula ada di dalamnya ikut mengotori lantai.

Dayang In bersama dua orang pelayan yang gemetar ketakutan seketika mundur selangkah lalu menunduk.

"Sudah kukatakan kalau aku tidak mau minum ini sekarang! Beraninya kalian membantahku!" Suara Putri Mahkota menggelegar memecah keheningan.

Dayang In memberanikan diri membalas, "Mohon ampuni Saya, Yang Mulia. Hanya saja tabib istana menyarankan untuk meminum tonik ini untuk menjaga kandungan Yang Mulia. Mohon Yang Mulia mengerti dan mengikuti saran tabib."

"Cukup! Aku ingin sendirian sekarang. Keluar!" Putri Mahkota mengibaskan tangannya demi menunjukkan gestur mengusir. Semakin ia melihat orang-orang ini ia semakin tidak sabaran dan merasa kesal.

Dayang In ingin mempersuasif Putri Mahkota sedikit lagi namun ketika sadar kalau hal itu hanya akan memancing kemarahan Putri Mahkota lebih besar, ia membatalkan niatnya. Tidak baik bagi seorang wanita hamil untuk emosi berlebihan. Itu bisa berefek buruk untuk kandungannya. Beruntung kehamilan Putri Mahkota sudah lewat trimester pertama jadi kandungannya sudah lebih kuat dan tidak riskan seperti sebelumnya.

Dayang In menyuruh dua orang bawahannya untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan sebelumnya dan begitu selesai ia mohon undur diri bersama pelayan lainnya dan meninggalkan Putri Mahkota sendirian di dalam ruangan tersebut. Putri Mahkota menghela napas lalu mendudukkan diri di atas futonnya. Ia berusaha menenangkan diri dengan menarik napas beberapa kali, namun ternyata tak begitu berhasil.

Ruangan kamarnya yang luas ini menjadi sangat hening karena hanya ada ia sendiri di dalamnya. Putri Mahkota merebahkan tubuhnya di atas futon dan memandangi langit-langit ruangan yang tinggi sembari berpikir.

Sudah sepuluh hari. Sudah selama sepuluh hari ia dikurung di sini dan tidak diperkenankan melangkah keluar ruangannya sedikitpun. Kecuali untuk buang air dan keperluan penting, ia akan ditahan di ruangan ini. Itupun saat keluar ia mendapat pengawasan ketat oleh orang-orang yang ditugaskan oleh Putra Mahkota.

Teringat lelaki itu, Putri Mahkota sangat membencinya! Mengurung dirinya seperti tahanan seperti ini tanpa boleh dikunjungi siapapun selain Putra Mahkota sendiri. Biasanya lelaki itu selalu datang berkunjung, namun sudah dua hari ini ia tidak datang yang mana cukup ia syukuri. Putri Mahkota memang membenci lelaki itu, namun lebih daripada itu ia merasa lelaki itu menakutkan. Pikirannya sulit ditebak dan Putri Mahkota tak ingin tahu.

Saat ia datang lelaki itu biasanya hanya bertanya basa-basi saja lalu duduk di depannya sembari membaca buku atau gulungan yang ia bawa. Putri Mahkota tidak akan mempedulikannya dan juga sibuk dengan dirinya sendiri. Terkadang ia memilih beristirahat dan mengabaikan Putra Mahkota sepenuhnya.

Putri Mahkota menoleh dan melihat spot kosong yang biasa ditempati Putra Mahkota. Hari ini ia juga tidak datang. Ditambah keheningan dan cahaya ruangan yang temaram, entah kenapa Putri Mahkota merasa ruangan ini jauh lebih besar dari sebelumnya.

Menghalau pikirannya yang dirasa mulai melantur kemana, Putri Mahkota memilih beristirahat dan mengambil posisi untuk tidur. Kehamilan ini membuat dirinya mudah kelelahan, namun juga sulit tidur dengan nyaman karena hanya bisa telentang. Belum sempat memejamkan mata, Putri Mahkota kembali terbangun ketika tangannya tak sengaja menyentuh bawah bantalnya dan menemukan sebuah amplop putih di sana.

A Bride Without VirtueWhere stories live. Discover now