Day 9: Bu Fan

399 64 6
                                    

makasih untuk 700++ readsnya ❤❤❤

PRANG!!

Suara pecahan kaca tersebut membuatmu terkesiap. Kamu melepas earphone yang kamu kenakan. Bahkan kamu sudah menyumpal pendengaranmu dengan earphone dan memasang musik dengan volume maksimal. Kamu sudah berusaha mengalihkan atensimu dengan cara membuka buku kimia dan mempelajarinya.

Tapi suara teriakan dan makian itu masih terdengar. Bahkan kini lebih keras dari sebelumnya, karena perhatianmu kini benar-benar terpusat ke sana.

Kamu tak lagi dapat berkonsentrasi mempelajari rumus-rumus kimia di hadapanmu itu.

Kamu menghela napas. Selalu seperti ini. Pertengkaran demi pertengkaran antara kedua orang tuamu yang menjadikan rumah kalian tak ubahnya dengan neraka. Alasan yang sama pula yang membuatmu enggan pulang ke rumah; lebih memilih untuk menyibukkan diri di luar sana.

Sebagai anak, kamu segan untuk mencampuri urusan mereka. Tetapi kamu muak dengan keadaan yang berlangsung hampir tiap hari ini.

Tanpa bisa dicegah, air matamu menetes. Oh Tuhan, kapan kamu bisa hidup dengan kedamaian seperti cerita keluarga bahagia yang sering kamu temukan dalam novel fiksi?

Sempat terbersit di pikiranmu untuk mendatangi kamar Bu Fan, kakak laki-lakimu. Bagaimanapun, kamu butuh teman cerita. Seseorang yang bisa dijadikan tempat menyalurkan rasa sesak yang selama ini menggerogoti dadamu.

Tapi kamu buru-buru menggelengkan kepala. Tidak. Seorang Bu Fan yang dingin tak akan peduli dengan perasaan orang lain, even his own little sister.

Kamu menghapus air matamu dengan keras. Menarik napas dalam-dalam, kamu memutuskan untuk kembali ke mode tidak peduli. Persetan dengan pertengkaran kedua orang tuamu. Kamu memilih untuk kembali menjadi gadis berhati es dan memusatkan seluruh konsentrasimu kembali pada buku kimia yang terbuka di hadapanmu.

Tapi… tidak bisa. Meski hanya lamat-lamat, suara amarah dari lantai bawah itu tetap menelusuk indra pendengaranmu, mengacaukan konsentrasimu.

Menyerah, kamu pun menutup buku. Tak lagi punya selera untuk belajar.

Kamu menelungkupkan wajah di atas meja. Menangis dalam diam.

Hingga suara ketukan pelan di pintu kamar membuatmu mengangkat kepala.

“Masuk … “ ucapmu lemah. Tak punya tenaga bahkan untuk sekadar bangun dan membuka pintu yang tak terkunci itu.

Kamu kembali menelungkupkan wajah. Tak lagi menangis, tetapi sisa-sisa air matamu masih mengalir menuruni pipi.

Kamu merasakan sentuhan tangan yang mengusap rambutmu lembut. Air matamu mengalir makin deras.

“Lo nggak apa-apa?” ujar sebuah suara bariton yang familiar bagimu. Siapa lagi kalau bukan kakak laki-lakimu, Bu Fan.

Tanpa perlu dikomando dua kali, kamu menegakkan punggung, lantas memeluk dirinya erat. Tangismu kembali pecah.

“Kenapa … kenapa selalu kayak gini, Fan-ge? Kapan mama sama papa selesai bertengkarnya? Kali ini kenapa lagi?” isakmu.

Bu Fan yang berpostur menjulang pun berlutut untuk menyejajarkan tingginya denganmu. Ia mengarahkan kepalamu ke pundaknya, mendekapmu erat.

“Gue takut… Fan-ge … Gue muak dengan keadaan kayak gini terus… Rumah kita udah kayak neraka rasanya gara-gara pertengkaran dua orang itu….”

“Hush!” Bu Fan melepas dekapannya, lantas menatapmu dalam. “Dua orang itu adalah orang tua kita. Mama Papa kita …”

“Gue nggak peduli! Mereka jahat, mereka bikin kita tersik—”

Ucapanmu terpotong ketika Bu Fan kembali menarikmu dalam dekapannya. “Xiao Mei … nggak boleh gitu… Jangan nangis…”

Percuma. Makin ia memintamu berhenti menangis, makin deras air matamu mengalir.

Kamu pun merasakan punggung kakakmu bergetar.

Bu Fan menangis.

Seorang Bu Fan yang dingin dan biasa selalu tampak tak berekspresi pun menangis.

“Fan-ge … jangan nangis … “ lirihmu.

Ia menghapus air mata di pipimu dengan jemarinya. “Gue nangis karena liat lo nangis ….”

“Oke…” kamu menyusut sisa air mata dengan baju. Menarik napas, memaksakan seulas senyum. “Gue bakal berhenti nangis.”

“Nah gitu …. Adek gue juga harus kuat. Harus kuat kayak abangnya. Masalah kayak gini bakalan kita hadapin terus. Lo kudu kuat, jangan nangis gara-gara ini doang. Masih banyak masalah yang lebih berat yang harus kita hadapin. Tapi percaya, kalau gue bakal ada bersama lo. Lo ga akan sendirian. Kalau lo susah hati, lo punya gue sebagai tempat cerita.”

Kamu mengangguk.

“Malam ini, kalau lo masih ngerasa sedih dan takut, mau tidur di kamar gue?” tawar Bu Fan.

Kamu mengangguk pelan, menyetujui ajakannya.

Setidaknya malam ini kamu tidak akan sendirian.

Ada Bu Fan, kakakmu satu-satunya, yang akan menemanimu.

/because Bu Fan as a older brother tampak menyenangkan/

20 Days 🔹 Idol ProducerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang