Celah 11: Akhir (Phase 1)

119 8 13
                                    

Silahkan menonton terlebih dahulu video di atas sebelum membaca kisah ini. Video tersebut merupakan lagu yang akan mengiringi berakhirnya trilogi pertama Celah Pengintip. Selamat membaca.

****

September 2016. Kesembuhan Gloria pasca operasi cangkok ginjal membawa angin segar bagi semua anggota organisasi tempatku bernaung. Meski dia histeris dan melemparkan benda apa saja saat melihatku datang menengok kondisinya, aku tetap sabar menghadapi gadis ini. Aku tahu dia ketakutan dan shock berat ketika kuberitahukan perihal Giovan, ayahnya, yang telah mati kubunuh. Kesalahanku membawanya jatuh ke dalam trauma mendalam. Tapi, apa boleh buat, semua kulakukan untuk membalas kematian Mama dan Papa. Ada satu alasan yang membuatku mengurungkan niat membunuh Gloria.

Kupeluk erat tubuhnya saat ia masih menangis. Dia diam saja. Rambut panjang hitamnya bak puteri kerajaan kuusap perlahan dari pangkal kepala hingga punggung. Kulakukan berulang-ulang sampai dia berhenti menangis. Kudekatkan wajahku ke telinga kanannya dan berbisik, "Jangan tinggalin Kakak lagi, Dek. Sisca sayang Kakak, kan?"

Ya, cerminan Gloria menyerupai adikku yang sudah tiada. Walaupun aku tahu Gloria tidak mengerti dengan ucapanku, dan tidak tahu siapa Sisca sebenarnya, dia hanya diam. Setidaknya aku berhasil meredakan isak tangis yang terus meraung sepanjang hari.

Sejak saat itu, Gloria sudah memberanikan diri berbicara denganku, bahkan di satu kesempatan kami jalan-jalan ke satu taman hiburan di kota ini. Dengan cara seperti itu rasanya Sisca seolah-olah hidup kembali. Di markas pun aku selalu mendidik dia dengan macam-macam pelajaran seperti anak-anak sekolah pada umumnya. Dia sudah seperti adikku sendiri, dan aku tidak ingin dia berada dalam bahaya. Oleh sebab itu, aku tidak mengajarkannya jadi seorang pembunuh, walaupun ada saja anggota organisasi ini yang merajuk padaku agar Gloria bisa menjadi pembunuh, Tobi sebagai salah satu contohnya.

Markas ini bukanlah tempat teraman bagi gadis remaja seperti Gloria. Oleh karenanya, satu minggu kemudian, aku menitipkan dia ke salah satu panti asuhan di wilayah Jakarta Timur. Aku tidak mau dia terancam bahaya, dan Gloria setuju akan hal itu.

Gloria sudah aman di panti asuhan, lalu apa kegiatanku cukup sampai di sini? Tidak. Masih ada satu tujuan lagi yang belum tercapai. Sampai sekarang aku belum bertemu dengannya sejak terakhir kali bertemu di panti asuhan tempat dahulu kami tinggal. Seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami, keberadaannya sangat sulit dideteksi. Tidak ada petunjuk sama sekali yang berhasil kudapatkan walau satu sekalipun. Dia seperti tenggelam ke dasar palung paling dalam dan tak muncul lagi ke permukaan.

Mungkinkah dia sudah mati sebelum aku sempat membalaskan kematian teman-temanku? Rasanya tidak mungkin. Aku yakin Sinka masih hidup dan mungkin sedang bersembunyi di suatu tempat, merencanakan sesuatu yang ada hubungannya denganku. Ya, aku yakin itu.

"Hey, Kak Ar!" Panggilan seorang gadis remaja diikuti cipratan air mengejutkanku. "Kak Ar kok bengong melulu dari tadi, sih?"

"Mungkin dia lagi mikirin jodoh di masa depan kali, Gre." Seorang gadis lainnya ikut menimpali disertai gelak tawa yang terdengar renyah.

"Oh, maaf-maaf...." kataku. Kubersihkan percikan air yang menempel di wajahku hingga bersih menggunakan kedua tangan.

"Makanya, Kak, jangan kebanyakan bengong, nanti kesambet," ujar gadis remaja berambut panjang dengan gigi gingsul di mulutnya.

"Sampai kapan kami harus berendam di sini, Ar?" Gadis berambut panjang dengan satu titik tahi lalat di dagunya ikut menimpali.

"Tunggu sampai lima menit lagi."

Celah Pengintip (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang