Celah 5: Fakta Menjengkelkan

108 13 6
                                    

Rasanya hidupku sudah tidak ada artinya lagi. Sia-sia aku hidup jika pada akhirnya akan berakhir seperti ini. Apa artinya hidup di dunia tanpa adanya orang-orang yang disayangi? Hampa, sunyi, sepi. Aku kesepian tanpa adanya mereka. Mereka sudah pergi. Pergi tanpa pamit. Mati mengenaskan oleh orang jahat layaknya iblis.

Air mataku tak kuasa kubendung lebih lama melihat peti mati milik Mama dan Papa sudah diturunkan menuju liang lahat. Aku tak kuasa menahan isak tangis ini saat gundukan-gundukan tanah mulai dijatuhkan ke dalam tempat peristirahatan orang tuaku. Terlebih lagi adikku yang berusaha keras untuk tidak mengubur mereka, apalagi dia nekad ingin ikut bersama mereka. Lubuk hati kecilku sependapat dengan Sisca, tapi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Tidak. Itu justru membuatku semakin sakit.

Rintik hujan mulai turun saat prosesi pemakaman orang tuaku selesai. Semua orang yang datang ke sini mulai meninggalkan tempat pemakaman—kecuali Bunda Ningsih dan Eva—, sesekali mereka menyampaikan bela sungkawa kepadaku dan Sisca. Kubiarkan tubuhku basah oleh gerimis di sore ini meski Eva menadahkan payung ke atasku.

"Rio, ayo kita pulang, hujannya semakin deras."

Kuhiraukan ajakan Eva barusan. Pandanganku lebih tertarik pada makam Mama dan Papa, juga Sisca yang memeluk kuburan Papa. Jantungku seketika berdegup cepat. Tanganku gemetar sambil mengepalkan telapak tangan. Rahangku mengeras. Kualihkan pandanganku ke Bunda yang tengah membujuk Sisca.

"Bunda." Aku memanggilnya. Bunda menoleh padaku. "Kenapa Mama dan Papa bisa meninggal dengan cara seperti ini?"

Tatapan Bunda berubah jadi serius. Alih-alih menjawab, Bunda mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dadaku terasa semakin sesak.

"Bunda, jawab aku!" Ini pertama kalinya aku membentak Bunda.

"Rio...." Kurasakan sentuhan tangan Eva pada pundakku. Tapi aku menepisnya.

"Aku tahu Bunda punya alasan atas kematian Mama dan Papa. Kenapa Bunda tidak memberitahu kenapa mereka meninggalkan aku dan Sisca begitu saja sejak kami masih kecil? Kenapa Bunda selalu menutup-nutupinya dari kami?!"

Rahangku semakin bergetar dan mengeras. Aku tidak ingin membentaknya, tapi sikap Bundalah yang membuatku begini. Air mataku kembali jatuh. Suaraku terdengar lirih dan serak.

"Kenapa, Bun...?"

"Bunda tidak bermaksud untuk menyembunyikannya dari kalian. Hanya Bunda menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu kalian, Nak." Bunda akhirnya menjawab.

"Tepat di hari kematian Mama dan Papa? Begitu maksud Bunda? Kau kejam sekali padaku, pada adikku!"

"Bukan begitu maksud Bunda, Nak," ujarnya disertai helaan napas. Bunda menghampiriku. "Kematian orang tuamu itu di luar dari yang Bunda tahu. Bunda saja tidak menyangka mereka meninggal dengan cara seperti itu. Saat itu mereka menghubungi Bunda kalau ingin bertemu dengan kalian dan Bunda setuju. Tapi Bunda juga tidak tahu kalau akhirnya akan begini jadinya."

Dadaku semakin terasa sesak. Aku tahu Bunda merupakan jembatan penghubung dengan Mama dan Papa. Jika tidak ada Bunda, mungkin saja aku dan Sisca tidak akan bisa bertemu mereka. Tapi alasan Bunda masih belum cukup puas untukku.

"Lalu, kenapa Bunda tidak memberitahuku alasan saat itu mereka meninggalkan kami?"

Bunda terdiam. Aku semakin geram. Eva berusaha menenangkanku kembali, tapi lagi-lagi aku menepisnya.

"Orang tua kalian berpesan pada Bunda untuk merahasiakan ini kepada kalian," Bunda akhirnya menjawab. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja hitamnya. Dua lembar foto. "Mama dan Papa kalian bekerja di bawah pimpinan langsung presiden sebagai anggota parlemen. Mereka sangat profesional, jujur, dan adil dalam bekerja hingga presiden ingin menempatkan mereka di kursi tertinggi dalam dewan tersebut. Tapi, orang tua kalian mengendus adanya beberapa oknum pemerintah yang tak suka dengan keberadaan mereka."

Dahiku mengkerut. Sebelah alisku terangkat. "Siapa saja mereka, Bunda?"

Bunda menyerahkan dua carik foto itu padaku. Di satu foto menampakkan gambar seorang pria, sedangkan di foto lainnya seorang wanita. Kuperhatikan seksama kedua foto itu. Aku sama sekali tidak mengenali mereka, tapi di balik dua foto itu tertulis sebuah nama.

"Giovan dan Grace."

Bunda tiba-tiba berbicara. "Giovan, menurut papamu, pria itu adalah seorang anggota parlemen yang sangat berambisi untuk menduduki kursi tertinggi di sana. Bunda rasa orang itu merasa iri karena presiden akan mengangkat papamu di kursi tertinggi." Bunda menghela napas sejenak. "Grace, menurut mamamu, wanita itu adalah sekretaris negara tapi mempunyai ambisi mendapatkan papamu dan merampas harta orang tua kalian. Mama dan Papa kalian merasa sedang diancam oleh oknum-oknum itu. Oleh sebab itu, Mama dan Papa kalian pergi meninggalkan kalian karena mereka tidak ingin kalian ikut terancam."

Aku terdiam sejenak. Penjelasan Bunda membuat dadaku terasa semakin sesak. Kedua tanganku gemetar hebat. Oknum-oknum itu yang membuat orang tuaku menjadi begini. Aku tidak bisa memaafkannya.

"Apa mereka juga yang menyebabkan Mama dan Papa meninggal?" tanyaku lirih.

"Bunda tidak tahu, Nak. Itu di luar dari yang Bunda tahu," jawabnya. Tak terpancar sorot kebohongan di matanya. Bunda berkata jujur.

Telapak tanganku mengepal keras. Kurasakan suatu bergejolak di dalam diriku, seperti hendak meledak.

"Aku tidak bisa memaafkan mereka! Mereka membuat Mama dan Papa mati sia-sia!"

"Tenangkan dirimu." Kurasakan Eva tengah mendekapku dari belakang, tapi kali ini aku tak menepisnya. "Ingat, jangan sia-siakan hidupmu."

Ajaib. Hanya dengan kata-kata dan pelukan darinya, gejolak yang akan meledak jadi mereda. Aku ingin meluapkan semua amarahku tadi, karena aku sendiri tidak terima dengan kematian orang tuaku. Bisa saja aku melakukan hal gila seperti saat aku menemukan Mama dan Papa yang sudah tewas sebelum aku sempat menyapa mereka. Tapi Eva selalu hadir untuk meredakan amarahku.

****

Tbc. Selamat menunggu bagian berikutnya.

Celah Pengintip (END)Where stories live. Discover now