Celah 7: Air Mata Kepedihan bag. 2

93 10 1
                                    

Aku senang melihat ekspresi keputusasaanmu. Tapi, penderitaanmu belum selesai sampai di sini.

Entah dari siapa tulisan itu. Aku merasa tulisan itu ada kaitannya dengan dua orang bertopeng yang sudah membunuh Eva. Tidak, tidak. Aku menduga ini berhubungan dengan orang misterius yang muncul kemarin malam. Dan, mungkin karena sosoknya itu pula membuat orang tua Eva ikut terbunuh.

Bayangkan sendiri rasanya saat tiba-tiba saja muncul kepala manusia di hadapanmu, terlebih lagi saat itu kau sedang meratapi tubuh sahabatmu yang tewas mengenaskan!

Aku merasakan firasat buruk semakin datang padaku setelah aku membaca tulisan itu. Aku harap Sisca, Bunda, dan teman-teman baik-baik saja sebelum aku sampai di sana. Ya, aku sedang bergegas pulang ke panti, meninggalkan mayat Eva di rumah kosong tadi. Aku ingin sekali membawanya, tapi rasa sakit akibat luka di kaki kiriku menghambatku. Aku kesulitan berlari dengan kondisi pincang.

Susah payah aku berlari, akhirnya aku sampai di panti. Tapi, di sini terasa sunyi, hanya semilir angin menerpa kulit. Rumah panti tampak sangat gelap padahal ini belum waktunya jam tidur. Apa mungkin listriknya konslet? Tidak, tidak. Sepanjang jalan aku kemari, aku melihat rumah-rumah yang lampunya menyala. Lantas, apa yang sudah terjadi, tidak mungkin Bunda mematikan listriknya jam segini?

Langkahku tergopoh, sulit bagiku dengan kondisi pincang seperti ini. Kubuka pintu depan lebar-lebar. Satu hal yang kutangkap adalah tercium aroma anyir di seluruh ruang tamu. Firasatku semakin tidak enak.

Aku melangkah masuk. Kurasakan kakiku seperti menginjak sesuatu gemericik, seperti aku sedang menginjak sesuatu yang berair. Aku mencoba menyalakan lampu ruang tamu ini. Untunglah tidak terjadi konslet sama sekali, listriknya hanya dipadamkan saja. Lampu sudah menyala tapi aku terhenyak melihat pemandangan yang sedang kulihat. Degup jantungku seakan berhenti berdetak.

Ternyata benda cair yang sedang kuinjak itu adalah darah. Darah dari teman-temanku yang terkapar di lantai dengan kondisi tak bernyawa. Lututku melemas, membuatku jatuh berlutut. Teman-temanku tewas dengan kondisi... ah, aku tidak sanggup menjelaskannya. Yang jelas tubuh mereka tidak lagi utuh seperti sedia kala.

Air mataku kembali tumpah. Tulisan yang baru saja kubaca tadi ternyata benar. Pendertiaanku belum sampai di sini. Ini yang dimaksud dari tulisan itu, seakan aku dibuat terus menderita dengan melihat kematian tak wajar yang dialami orang-orang yang kusayangi. Entah siapa orang yang memberikan tulisan itu padaku, dia membuatku sangat menderita.

Aku teringat akan Bunda dan Sisca. Aku pun berlari mencari-cari keberaan mereka ke seluruh penjuru panti ini. Sampai akhirnya kutemukan Bunda di kamarnya. Aku terkejut melihat Bunda menempel pada dinding dengan dua buah pasak besi menancap pada masing-masing lengannya, belum lagi tubuh Bunda bersimbah darah. Ada luka tusukan pada dada dan perutnya. Lukanya sangat dalam.

"Bunda!"

Aku segera menolongnya, menyingkirkan pasak besi yang menancap di lengannya. Kemudian kubaringkan Bunda ke atas pangkuanku. Napas Bunda terengah. Syukurlah, Bunda masih hidup.

"Bunda, apa yang terjadi denganmu?!" tanyaku dengan sedikit penekanan. Tentu saja aku merasa panik.

Bunda terbatuk. Diraihnya tanganku dengan tangannya yang bersimbah darah. Bunda berusaha menatap mataku, meski raut wajahnya semakin memucat.

"Sisca...." ucapnya lirih dan parau.

"Apa Sisca baik-baik saja, Bunda?"

Celah Pengintip (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang