“Ya iyalah, pasti keriput, kan udah tua. Kamu sih bikin malu orang.”

“Kenapa Fer, Hendra suka bikin kesel ya?” Tiba-tiba Andri sudah berada tidak jauh dari tempat dudukku.

“Eeh… i-iya…” Kok grogi lagi sih. Arrghhh….

“Udah bawaan lahir, Fer. Sabar aja kalau ngadepin Hendra. Kasih bogem mentah aja, pasti dia diem. Dulu juga--”

“AA!! Tega ih membuka aib orang!” Kata Hendra memotong perkataan Andri.

“Dulu kenapa, Dri?” Tanyaku penasaran.

Atuh A…. jangan cerita ya, aku malu.”

“Iya… iya…” jawab Andri ketus.

“Aa…. sarapan nasi kuning yang di gang Asep yuk. Udah lama nggak makan nasi kuning.”

“Yuk, gue juga lagi pengen nasi kuning. Fer, Lo udah sarapan belum?”

“Belum, Dri. Jauh nggak tempatnya?”

“Ngga jauh kok, bisa jalan kaki dari sini.”

“Ya udah kita jalan kaki aja ya. Mobil di parkir di situ aman kan?”

“Aman kok, ada tukang parkirnya. Ntar gue yang bilang ke tukang parkirnya.”

Kami pun beranjak dari rumahnya Andri menuju tempat jual nasi kuning. Dari perempatan Jl. Ibu Inggit Garnasih belok kiri ke arah Jl. Moh Toha. Tidak jauh dari situ kulihat sebuah sekolah dasar bernama SDN Moh. Toha. Sebelah sekolah ada sebuah gang yang masuk satu mobil, inilah yang disebut dengan gang Asep.

Di mulut gang terdapat gerobak yang menjual nasi kuning. Aku melihat di ujung gang ini ada sebuah hotel bernama Arimbi. Sepertinya hotel khusus untuk melampiaskan nafsu birahi. Sangat terpencil sekali.

**

Oktaviandri

“Hen… tadi temen lo kayaknya ngeliat gue lagi cium pipi lo. Pasti dia ngira kalau kita pasangan homo. Makanya dari tadi dia grogi. Gue jadi malu. Maaf ya, Hen.” Gue mencoba meminta maaf karena telah mencium pipinya Hendra.

“Bukan gitu, A…” kata Hendra dengan muka serius.

“Bukan gitu gimana, Hen?” Tanya gue penasaran.

“Dia grogi karena dia suka sama Aa kayaknya,” kata Hendra sambil berbisik. Karena takut terdengar oleh Ferdi

“Pada ngomongin apa sih, kok bisik-bisik gitu?” Kata Ferdi yang berjalan di belakang kami.

“Eh nggak, Fer. Ini Hendra katanya udah laper banget. Padahal tempat yang jual nasi kuningnya udah kelihatan. Tuh gerobaknya," kata gue mengalihkan pembicaraan agar tidak membuat curiga Ferdi.

“Fer… kamu nggak apa-apa kan makan di pinggir jalan?” Tanya Hendra.

“Nggak masalah kok. Aku gampang makannya."

Setelah sampai tempat jual nasi kuning, gue memesan tiga piring.

“Mang Udin, pesen tiga piring ya, yang gue seperti biasa, sambel dan kacangnya banyak.”

Nasi kuning di sini lebih unik dibanding nasi kuning di tempat lain. Nasinya berwarna kuning kuat, disajikan dengan guyuran kuah sambal oncom dan ditaburi irisan telor dan kacang kedelai goreng. Namun porsinya tidak terlalu banyak.
Kami pun dengan lahap menghabiskan satu piring nasi kuning.

“Mang Udin, nambah sepiring lagi ya,” kata gue sambil menyodorkan piring yang telah habis isinya.

“Fer, Hen. Mau nambah lagi nggak?”tanya gue ke Ferdi dan Hendra.

Coklat Cap Ayam JagoWhere stories live. Discover now