the HANDS 5 : Kalivta

47 4 0
                                    

Jakarta, Februari 2000

Dingin,

dimana aku...

Angin pagi menyeret kabut, menyebar dingin di pucuk-pucuk ilalang yang telah beku.

Kabel? Tower?

Di mana ini...

Kabel-kabel tegangan tinggi melintas di pusaran langit, terhubung rangka-rangka bisu dari baja yang tersusun mengangkangi jengkal atmosfir.

Pusing...

Leherku sakit, susah untuk bernafas...

Ada yang terasa perih.

Butir-butir tanah serasa serpihan es di permukaan kulit. Dan langit itu hanya melafalkan desir angin.

Di mana bajuku?

Di satu garis langit, hanya ada semak ilalang. Bak lautan yang menenggelamkan menara-menara rangka besi. Dan seperti kapal tersesat di ujung samudera, satu titik ada di tangah lautan belukar. Sesosok tubuh yang meringkuk. Seluruh permukaan kulitnya bergesekan dengan angin. Tubuh tak tertutup itu gemetar.

Baju...

Celanaku...

Gontai, dia mulai memunguti kain-kain yang berserakan di tanah. Gemetar, matanya menelusur sekitar. Langkahnya tertatih di antara goyangan belukar, menyusuri tanah lembab di bawah lintasan kabel-kabel baja. Di atas tanah di depannya, dia lihat jejak-jejak roda.

Jejak itu... Jejak mobil itu. Roda besar yang berputar di dekat kepalaku. Roda kendaraan yang kutumpangi tadi malam. Saat kuterkantuk, setelah seharian mengurus visa. Mama menyarankan menunggu mobil dari bengkel, aku bersikeras naik taxi. Tapi entah kenapa saat itu taxi tak kunjung lewat, sampai kuputuskan naik metromini yang melintas di depanku.

Di sela kantuk, kulihat penumpang tinggal beberapa. Sopir di depan seperti punya luka bakar di pipi dan lehernya. Sempat kuterkejut saat kenek menyentak segenggam uang receh di tangannya. Kuambil ongkos di dompet. Dan tangan itu, ada tato daun ganja di pergelangannya. Itu hal terakhir yang jelas kuingat. Berikutnya hanya samar. Saat kusadar kendaraan itu gelap, lajunya cepat, sekelilingku tak terlihat. Sampai seseorang mendorongku. Kepalaku membentur sesuatu. Lalu kumerasa seseorang menindihku. Aku ingin berteriak, sampai hantaman keras menghentikan usahaku. Leherku tercekik, aku tak bisa bernafas. Pandanganku berkunang-kunang, hanya ban besar terlihat di dekat kepalaku, lalu kolong kendaraan. Aku ingin muntah. Perutku mual karena rasa perih yang menyodok. Aku tak tahan lagi.

Kabut masih tak mau pergi di jalan sepi berbatas belukar. Perempuan dengan baju acak-acakan berjalan gontai.

Tak tahu harus apa... Tak tahu harus ke mana. Setiap langkah membuatku makin tak bisa berpikir. Tapi yang kubisa hanya melangkah. Sisa perih itu membuat kakiku letih.

Seorang wanita pemulung ada di sudut jauh jalan itu. Dia berdiri memperhatikan perempuan berambut panjang berantakan di tengah jalan. Perempuan yang berjalan linglung, lalu limbung, ambruk dan terkulai.

Namaku Kalivta

Aku dikeluarkan dari rahim di tangan seorang petugas polisi. Sebab rahim itu membuatku kedinginan dan kelaparan. Rahim yang berusaha membunuhku. Rahim dari kardus, bekas mi instan.

Orang-orang dihadirkan ke dunia karena rasa cinta yang tumbuh di sekitar manusia. Aku dihadirkan ke dunia karena benih jahat sindikat perdagangan manusia.

Maret 1980, umurku 3 bulan. Saat sebuah rumah diserbu petugas. Sesuatu yang jahat terbongkar. Anak-anak pun dibebaskan. Dan itu aku, dimasukkan ambulan. Begitu kecil, begitu tak berdaya. Tapi aku masih hidup.

The HandsWhere stories live. Discover now