**

Oktaviandri

Seperti hari-hari sebelumnya, setiap acara makan malam, nyokap dan gue selalu berbincang-bincang seputar berita terkini, keadaan sekolah gue, atau hal-hal lainnya yang gue anggap sebagai wejangan penting.

"Andri.... ada beberapa hal yang harus kamu ingat," Ucap nyokap gue, sepertinya akan memberikan wejangan. Dan gue dengan seksama mendengarkan wejangan-wejangan yang akan disampaikan beliau.

"Iya Bu...." Jawab gue serius

"Pertama, di manapun kamu berada, jangan pernah lupakan Tuhan dan perintah-Nya. Kedua, kamu jangan terburu-buru untuk menikah. Raih dahulu cita-citamu, dan nikmati hidupmu. Setelah kamu bener-benar siap. Lalu putuskan untuk menikah. Ketiga, pendidikanmu harus lebih tinggi dibandingkan Bapakmu yang hanya lulusan Sarjana Muda (D3)."

"Dan yang terakhir, jika ibu sudah nggak ada, kamu harus sabar menghadapi hidup. Mengeluh bukan jalan keluarnya. Berusaha dan berserah kepada Yang Maha Kuasa adalah kunci dari hidup."

"Iya, Bu. Andri akan melakukan apa yang ibu ucapkan. Tapi pada poin terakhir, Andri sama sekali belum siap, Bu."

"Ibu sangat percaya padamu, Sayang. Jangan pernah meremehkan kemampuanmu dan Kuasa Ilahi ya. Jadi nggak ada yang perlu didebatkan lagi." Jawab nyokap gue yang tidak bisa gue bantah.

Wejangan yang baru terucap dari nyokap gue, akan gue simpan dalam hati dan gue berjanji pada diri sendiri akan melaksanakan apa yang diminta oleh nyokap gue.

Setelah acara makan malam selesai, gue langsung mencuci piring-piring kotor dan membereskan meja makan. Setelah semuanya tertata rapih, gue duduk di samping nyokap gue yang sedang menonton televisi.

Tangan kanan gue digenggam erat oleh kedua tangan nyokap gue. "Andri, Ibu teringat waktu kamu masih kecil. Kedua tanganmu selalu Ibu genggam seperti ini, tapi sekarang satu tangan pun nggak bisa Ibu genggam dengan kedua tangan Ibu. Ibu bangga sekali memiliki anak sepertimu. Sekarang sudah tumbuh menjadi dewasa"

"Bu, Andri sayang banget sama Ibu," jawab guesambil mencium tangan dan kedua pipinya. Hanya perasaan damai, nyaman dan tentram jika gue berada di sisi nyokap.

Keesokan harinya, gue bangun pukul lima pagi. Seperti biasa, setelah shalat subuh, gue menyiapkan air putih dan kopi susu untuk nyokap gue. Beliau selalu shalat subuh di mesjid dekat rumah. Pulang dari mesjid biasanya pukul 5.30.

Tapi kok lampu kamar beliau masih menyala, apa mungkin lupa mematikan lampu dan langsung pergi ke mesjid. Gue menuju kekamarnya untuk mematikan lampu yang masih menyala.

"Astaga..... BUUUU.... IBUU!!" gue sangat terkejut melihat beliau yang terbaring di kasur, dan dari mulutnya keluar cairan hitam.

Gue berusaha untuk membangunkan beliau, namun tidak ada perubahan. Kulihat masih ada pergerakan di dadanya yang menandakan napasnya masih ada.
Gue langsung berlari kearah mesjid yang ada di dekat rumah untuk meminta bantuan, orang yang dituju adalah ustad yang merangkap sebagai pengelola mesjid tersebut.

"Pak Ustad, tolong Ibu saya. Beliau sepertinya sakit dan nggak sadarkan diri." Ucap gue memelas untuk memohon bantuan.

"Oke, Dri.... Kita sekarang cepet ke rumahmu," kata Pak Ustad dengan sigap.

Kami pun bergegas menuju rumah gue.
Setelah melihat kondisi nyokap gue, Pak Ustad lalu menelepon seseorang yang gue sendiri nggak tau siapa yang ada di seberang telepon tersebut. Gue hanya bisa duduk dibawah kasur beliau sambil membersihkan sisa muntahan yang keluar dari mulut nyokap gue.

Coklat Cap Ayam JagoWhere stories live. Discover now