S E V E N

295 34 2
                                    


"Biarpun lebih tua darimu, setidaknya aku ini tidak pernah memberi harapan palsu," Niall membela diri. "oh ya, kita juga sering berkumpul dengan satu orang lagi, namun ia berhalangan hadir ke sini,"

"Siapa?" Tanya Emma.

"Itu, loh, Nash. Kakakku itu sering sibuk saat sore hari seperti ini," Cameron menjawab dengan nada yang teramat ringan.

Deg

"Na-Nash itu, dia kakakmu?" Emma menggenggam erat sandaran kursi, berusaha menghilangkan gelenyar aneh dalam dirinya.

Apakah ... aku telah berada di tempat yang salah?

"Aku belum mengenalkannya padamu--"

"Aku pernah melihatnya berkelahi dengan Shawn," Potong Emma cepat. Sedetik kemudian, dia menggeleng keras, baru menyadari kesalahan pada ucapannya. Untuk apa dia peduli pada lelaki itu? Bukankah teman-teman baru yang Emma punya sekarang adalah sumber kebahagiaan untuk dirinya sendiri?

"Shawn?" Cameron mengernyitkan dahi, bingung.

"Ah, tidak. Anggap saja aku tidak bicara apa-apa."

Mendengar hal itu, Cameron sempat terbungkam sebentar sebelum dirinya tersenyum kembali. Tangannya mengambil segelas kopi yang terletak di meja, kemudian menyeruputnya perlahan. "Apa saja akan aku lakukan, apalagi hanya melupakan apa yang kau katakan, Emma. Tidak usah pucat begitu."

Emma tidak dapat menyembunyikan senyumannya ketika mendengar ucapan Cameron. Dia pun kembali berbincang santai mengenai hal-hal di sekolah, diiringi Zayn dan Niall yang dengan penuh percaya diri bercerita masa-masa remaja mereka.

Emma hanya tidak mengerti bahwa salah satu dari 'teman baru' yang ia punya sedang menatapnya dalam pandangan yang sulit diartikan.

○●○

Hari semakin gelap. Semakin tebal salju yang menimbun permukaan tanah dan atap rumah. Udara dingin yang cukup menusuk tubuh itu membuat masing-masing hunian menyalakan mesin penghangat ruangan yang mereka punya.

"Shawn, aku tahu tidak seharusnya membahas Sheira saat mood-mu benar-benar hancur. I'm sorry," Camila meletakkan satu bungkus roti tawar di atas meja ruang tamu. Sesekali ia mengulum bibir bawahnya sendiri karena benar-benar merasa bersalah pada Shawn.

Namun, tidak seperti yang Camila bayangkan, Shawn justru tersenyum tulus kepada gadis itu. "Kau tahu? Kenangan bersama Sheira adalah partikel terbaik dalam hidupku. Aku tidak mungkin kecewa karena seseorang mengingatkan aku padanya. Berhentilah menyalahkan dirimu, Mila. I'm sorry, too."

Akhirnya, Camila dapat tersenyum lega. Meski luka dalam hatinya masih terasa jika mengingat kematian adik sematawayangnya itu.

"Kalau begitu, aku pulang dulu. Terima kasih karena kau bersedia menjadi tempatku bercerita." Ujar Camila sambil berdiri.

"Never mind," Kata Camila yang kemudian mengikuti langkah Shawn menuju pintu keluar.

Tepat saat Shawn baru menapakkan kakinya di teras rumah, ia melihat secarik kertas tergeletak di lantai. Dengan cepat, ia meraih kertas itu dan membaca tulisan yang tercetak rapi di sana. "Camila, sepertinya ini sebuah undangan. Ditujukan untuk kau dan... um, seorang partner?"

Mendengar itu, Camila menautkan kedua alisnya, kemudian menerima kertas itu dari Shawn. Setelah membacanya sampai habis dengan seksama, Camila memutar bola matanya.

"Hey, are you okay?" Tanya Shawn.

"Shawn, kau tahu, aku sangat menyukai pesta. Tapi...," Camila menggigit bibirnya, "aku tidak punya seorang partner! Menyebalkan."

Imagination (S.M) [ON HOLD, SORRY]Where stories live. Discover now