PART TUJUH

5.7K 527 21
                                    

Dion menggiring cepat bola sepak dengan dua kakinya secara bergantian menuju gawang kecil yang terletak di dekat tembok halaman belakang rumah. Sementara, Andra berlari di belakang mengejar ayahnya.

Sesuai janji yang kemarin ia buat, pagi ini dirinya mengajak sang putra untuk bermain bola, meski durasi waktunya terbilang singkat serta diperpendek dari biasanya. Mengingat nanti ia harus mengantar Riana ke rumah sakit untuk periksa kandungan.

"Yes, GOL!" seru Dion saat berhasil memasukkan bola yang digiringnya ke gawang. Namun, tatapan pria itu tetap tertuju ke buah hatinya guna melakukan pengawasan.

Selebrasi seperti ini kerap Dion senang keluarkan, manakala bermain bersama Andra untuk menularkan semangat kepada putranya. Tentu, disamping ia memang sangat menyukai olahraga semacam sepak bola dan futsal.

"Andra larinya lebih dicepetin dong, Nak. Papa udah gol, nih," ujar Dion dengan posisi berdiri tenang di dekat gawang sambil menunggu putranya yang tak datang mendekat juga.

Namun tidak berselang lama, ekspresi pria itu berubah dari semula terlihat sedikit serius, kini cepat tergantikan oleh seutas senyum simpul dan tawa kecil yang tidak diiringi suara. Dion pun tak bisa menahan gelengan kepala beberapa kali karena melihat tingkah anaknya yang terkategorikan lucu. Ia selalu merasa dibuat gemas kapanpun. Dari indera penglihatannya kini, Dion pun dapat menyaksikan bagaimana sang putra kini duduk di rerumputan dan melihat ke arahnya dengan tatapan seperti sedang kesal. Walau hanya sebentar.

"Andra kenapa diam di sini? Bangun dong, Nak. Kita belum selesai main bolanya."

Dion telah berpindah tempat. Saat ini ia tengah berada di samping putranya, namun tidak ikut duduk bersama sang buah hati. Dirinya berdiri anteng dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada dan pandangan terus tertuju pada anaknya. Dion masih tetap setia menanti reaksi dari putranya itu. Tetapi, Andra belum bersuara dan terlihat sedang sengaja mengabaikan ucapannya barusan. Ia pun tidak tahu alasan pasti mengenai perubahan sikap buah hatinya yang terjadi hanya dalam hitungan menit saja. Mirip seperti Riana.

"Cepet bangun, Nak. Mau lanjut main bolanya apa nggak nih?" Giliran pertanyaanlah yang dikeluarkan Dion guna memulai percakapan dengan putranya.

Gelengan singkat diberikan Andra untuk menjawab apa yang ditanyakan oleh sang ayah. "Andla ga mau main bola lagi, Papa."

"Kenapa nggak mau, Nak? Kita baru main bola bentar. Apa Andra takut dikalahin sama Papa? Ah, Papa 'kan udah nyetak satu gol. Tapi, Andra belum." Ada kebanggaan dalam suara Dion yang terkesan dibuat-buat.

"Andla ga takut, Papa."

"Nah, kenapa Andra nggak mau main bola lagi kalau nggak takut kalah dari Papa? Pengin tahu nih Papa."

Sebenarnya Dion ingin tertawa saat dihadapkan dengan kecemberutan yang diperlihatkan putranya. Namun, ia harus menahannya agar tidak kian menambah kesebalan sang buah hati.

"Andla cape main bola, Papa."

"Masa Andra udah capek? Papa aja belum capek, loh. Ayo cepat bangun, Nak. Kita main bola lagi," bujuk Dion sambil mengulurkan tangan pada putranya. Tetapi, lagi-lagi ia harus memperoleh gelengan tanda penolakan.

"Andla mau duduk di sini. Papa main bola sendili aja."

Balasan yang baru diucapkan anaknya itu langsung menciptakan senyum lebar di wajah Dion. Terutama karena kecadelan putranya yang tak kunjung hilang. "Harusnya 'sendiri'. Bukan 'sendili', Nak. Ayo dicoba," pinta Dion dengan nada yang dilembutkan supaya sang anak tak merasa takut ataupun tengah ditekan.

"Sendili." Andra menuruti apa yang dikatakan oleh ayahnya. Namun, tak ada perubahan terjadi pada satu kata tersebut. Huruf 'R' tidak juga dapat dilafalkan balita itu dengan baik.

DION & RIANA FAMILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang