Meski jam kosong, Nafa tetap saja mengerjakan tugas yang diberikan gurunya, padahal tugas itu hanya akan dikumpul minggu depan.

"Rajin amat neng," ucap Jeje yang mulai duduk di antara Nafa dan Arsyi.

"Jangan ganggu dulu, bentar lagi siap nih, nanggung." jawab Nafa

Nafa memang paling tidak suka kalau diganggu, apalagi saat ia sedang mengerjakan tugas.

"Akhirnya siap juga tugas gue, yeee!!!" ucap Nafa girang.

"Fa, gue pinjem ya," ucap Arsyi sambil memasang wajah memelasnya.

"Tamvang woi, jijik gue." jawab Nafa, lalu menyodorkan buku tugasnya ke Arsyi "besok bawa, jangan ditinggalin."

"Siiip ibu bos," jawab Arsyi sambil menaikkan sebelah tangannya, memeragakan gerakan hormat.

Ketika jam kosong, Nafa, Arsyi, dan Jeje memang selalu bertiga. Akan banyak hal yang dibahas oleh mereka kalau udah ngumpul, bahkan jumlah telur ayam ibu kantin saja selalu jadi bahan obrolan penting mereka.

"Je, Syi, gue pengen cerita sama lo," ucap Nafa.

"Apaan?" jawab Jeje singkat.

"Nomor gue diblock sama kak Ghazi," jawab Nafa dengan wajah sesedih mungkin.

"Aealah, jadi dari tadi lo manyun cuma karena itu?. Lagian juga udah putus, move on woi!" jawab Jeje santai.

"Jeje, lo nggak pengertian banget deh. Move on tu butuh waktu tau." ucap Arsyi membela Nafa.

Setelah itu Nafa lebih banyak diam, hanya Jeje dan Arsyi saja yang terus bicara tanpa henti.

Tok... Tok...
Pintu kelas diketuk dari luar. Seketika pandangan mereka semua fokus pada sosok yang ada di pintu kelas, hanya Nafa, dan Jeje yang tak memedulikannya.

Arsyi yang juga ikut melihat ke arah pintu mulai melongo, ketika mengetahui siapa sosok yang berdiri di pintu kelas.

"Fa, Je, ada anggota osis. Itu tu kakak kelas yang paling ganteng, elah meleleh deh gue," ucap Arsyi dengan histerisnya.

"Lebai lo. Meleleh aja terus tiap liat cowok," tanggap Jeje, Nafa hanya diam menyaksikan sikap sahabatnya itu.

"Ehm... ehm... permisi!" ucap cowok yang beridiri di ambang pintu itu "Yang namanya Nafa, tolong keluar sebentar!" sambungnya lagi.

Nafa mulai terkejut ketika menyadari namanya dipanggil, namun ia tidak langsung berdiri melainkan hanya tetap duduk di kursinya.

"Elah, yang dicari Nafa terus, guenya kapan?" ucap Arsyi frustasi.

Nafa yang mulai jenuh dengan sikap Arsyi perlahan mulai berjalan keluar kelas. Langkahnya tampak lesu.

Gagang pintu mulai ditarik oleh Nafa, seketika badannya mematung saat melihat sosok pria yang berdiri membelakanginya. Nafa diam, tak bergeming sedikitpun.

Sosok itu mulai menyadari kehadiran Nafa, ia lalu berbalik badan menghadap Nafa. Tanpa aba-aba, ia langsung meraih tangan Nafa dan menyeretnya menjauhi koridor kelas. Untung saja, saat ini tidak jam istirahat, sehingga tidak banyak siswa-siswi yang menyaksikan hal tersebut.

Pria itu terus berjalan menyusuri satu persatu anak tangga dengan tangan Nafa yang masih saja diseretnya.

Batin Nafa ingin berontak atas perlakuan tersebut, namun anggota tubuhnya seakan terbius dan tak mampu digerakkan.

Sesampai di rooftop sekolah, pria itu mulai melepas genggamannya dengan kasar. Nafa yang diperlakukan demikian hanya tetap diam.

"Oke, apa yang mau lo omongin ke gue?" tanya pria itu sambil memangku tangan di depan dadanya.

Hati Nafa tersentil ketika mendengar ucapan itu. Karena saat terakhir kali berhubungan dengan pria itu, tutur katanya masih sangat lembut, Ghazi sama sekali tak pernah berkata dan berlaku kasar demikian. Namun yang disaksikan Nafa saat ini sangat berubah drastis, Ghazi yang ada di depannya kini seperti sosok baru yang kejam.

Air mata Nafa seketika jatuh berderai. Namun bibir tipisnya belum juga sanggup berbicara.

"Woi, gue ngajak lo ke sini, buat nyelesain masalahnya, bukan buat liat lo nangis!" bentak Ghazi.

Sekali lagi Nafa dibuat terkejut dengan sikap Ghazi. Kalau dulu, jika Nafa menangis Ghazi akan ringan tangan untuk menghapus air matanya, atau paling tidak bersedia meminjamkan pundaknya untuk sandaran Nafa menangis. Berbanding terbalik saat ini, Ghazi malah membentaknya.

Nafa tak dapat lagi mengontrol tangisnya, saat itu juga tangisan Nafa pecah.

"Kak, gue nggak pengen putus sama lo. Gue sayang sama lo. Oke, gue tau, gue egois. Tapi seenggaknya lo kasih alasan yang pasti." ucap Nafa agak berteriak, isakkanya juga masih sangat jelas.

"Oke, alasannya, gue nggak pernah sayang sama lo. Jelaskan?" ucap Ghazi seolah tak terjadi apa-apa. Ia lalu melangkah ke arah tangga, meninggalkan Nafa sendiri di rooftop itu.

♥♥♥

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Namun Nafa juga masih belum balik ke kelas semenjak anggota osis tadi memanggilnya. Hal ini membuat Arsyi dan Jeje khawatir.

"Je, si Nafa kemana ya? Padahal udah jam pulang." tanya Arsyi sedikit panik.

"Nggak tau, tunggu aja di parkiran, ntar juga dia bakal ke sana." jawab Jeje santai.

"Ya udah, kuy." ujar Arsyi akhirnya lalu berjalan ke luar.

♥♥♥

Saat ini Nafa hanya ditemani kebisuan, kepedihan, kesediahan, dan air mata. Sikap Ghazi padahal telah membuatnya teramat sakit, tapi rasa cinta itu tak sedikitpun hilang, bahkan berkurangpun tidak.

Nafa mulai berbalik badan, melangkahkan kakinya dan beranjak dari rooftop itu. Mungkin sejak hari ini Nafa akan sangat membenci tempat ini.

Matanya yang merah dan meninggalkan jejak bekas menangis, membuat semua tatapan tertuju padanya. Ada yang menatap iba, juga sinis, terutama tatapan tajam dari kakak kelas yg diduga juga mengagumi Ghazi.

Nafa tak menghiraukan, ia terus berjalan menunduk. Hingga sebuah tangan hinggap di bahunya, merangkul erat. Nafa terkejut dan menoleh ke arah pemilik tangan itu. Ia melihat wajah Ghibran dan senyuman yang mengambang di bibir pria itu.

Nafa hanya diam ketika Ghibran terus merangkulnya menuju kelas mereka. Sesampai di depan pintu kelas, Ghibran langsung menurunkan tangannya dari bahu Nafa.

"Lo kenapa?" tanya Ghibran.

"Nggak kenapa-napa. Ya udah gue mau ke kelas," jawab Nafa lalu masuk kelas dan mengambil tasnya.

Ia terus berjalan menyusuri koridor yang semakin sunyi. Tujuannya sekarang adalah parkiran, mengambil mobilnya, lalu pulang ke rumah.

♥♥♥

Saya senang dengan kenyataan bahwa kita pernah tertawa bersama, meski pada akhirnya hanya saya yang akan merasa kehilangan.

HESITATIONOnde as histórias ganham vida. Descobre agora