2

30.2K 3.6K 144
                                    

Buat kamu yang ultah hari ini ato kamu yang terlalu cinta sama Raidi, aku terbitin lagi bab ini 😘 happy weekend en jaga terus kesehatan terutama kesehatan mental...

Happy reading happy happy day!!

Pilihan sarapan Rai tiap pagi adalah TIDAK MEMAKAN MASAKAN BUATAN DIARA. Jadi yang dilakukan tiap pagi di rumah adalah meniadakan jadwal sarapan. Rai akan berpakaian rapi, minum satu botol air mineral kemasan ukuran 500 mili, lalu berangkat ke kantor. Ah, jangan lupakan satu adegan sebelum Rai masuk mobil. Dia mengulurkan tangannya untuk kucium dan mengecup cepat keningku. Bagian formalitas di depan sopir pribadinya.

Sudah, begitu saja.

Aku akan memulai hari dengan membuka email. Pagi ini ada dua email tawaran endorse. Clothing line baru dan paket perawatan salon ala Korea. Jemariku berkelana, mengetik merek clothing line pada kolom pencarian safari.

"Not bad," gumamku masih dengan kaki melangkah menuju meja makan yang kosong. Duduk di meja terujung, mataku kembali menjelajah produk-produk keluaran brand Magnum Fever yang meminta jasa endorse.

Begini pekerjaanku, menjadi beauty blogger. Menulis artikel mengenai produk kecantikan, salon, klinik kecantikan, dan fashion wanita. Melalui jasa endorse dan review produk dan jasa, aku menerima penghasilan. Memang nggak sebesar gaji per bulan Rai tapi aku berani jamin, kalau orang mengetik namaku di internet, akan nongol lima puluh kali lipat hasil pencarian tentangku, dibandingkan Raihan Maheswara Argaditya yang menjabat CEO PT Laksana Dwipada.

Profesi yang aku rintis dari hobi sharing hasil pemakaian produk kecantikan merek anu dan anu di blog, lalu menjadi lahan penghasilan jutaan rupiah per bulan. Bukan dalam waktu sekejap seperti selebgram zaman now. Blog zaman dulu nggak menjaring massa sehebat instagram yang punya akses di explore. Sekarang aku mulai pakai instagram untuk menunjang usaha beauty blogger, mengikuti saran seorang teman.

"Aah, teman, aku nggak punya teman buat sarapan. Selain pacar bayaran, ada jasa teman makan nggak ya?" Aku menopang dagu pada telapak tangan kiri. Jemari kanan mengetuk meja dengan bosan. Begini rutinitas di rumah, sendirian. Pekerja rumah tangga datang tiap jam delapan sampai jam lima sore. Sopir tergantung kebutuhan, kalau butuh pagi ya datang pagi, kalau nggak ya dia datang normal seperti pekerja rumah tangga.

"Ganggu Arvel saja," kataku pada ponsel. Adik ipar satu itu memang paling bisa diandalkan, datang tiap dibutuhkan dan pergi saat diusir. Jelangkung banget.

Pesan singkat aku ketik untuk Arvel. Nggak perlu tunggu balasan, aku langsung masuk ke dapur. Mari piknik, Di!

Me:
Vel, makan pancake yuk!

๑๑๑๑๑

Mobil yang mengantarku mengantri masuk lobi drop-off gedung perkantoran berwarna hijau emerald. Sudah lewat jam masuk kerja, belum masuk jam makan siang, dan kantor ini masih saja lambat dalam pengaturan mobil masuk-keluar. Aku berdecak sebal, nggak sabar mau bertemu Arvel. Tantan, pria muda yang menjadi sopirku sejak enam bulan terakhir melirik lewat spion tengah.

"Sabar, bu. Kan namanya Jakarta, wajib macet. Kalau nggak macet, bisa hilang kerjaan juru parkir, sekuriti, polisi-"

"Sst, berisik!" Aku melirik sinis Tantan yang malah nyengir lebar. Sopir satu ini pasti diterima atas hasutan Arvel ke Mami Yulia, mertuaku. Kemampuan bibirnya berkicau sebelas-dua belas Arvel.

"Biar ibu nggak bosen makanya saya ngomong. Kali saja ibu lupa masih tinggal di Jakarta," kilah Tantan.

Nama panjangnya Tantowi aja. Karena motong namanya jadi Tanto terdengar ribet, Arvel mengusulkan panggilan Tantan. Rai yang sejak awal payah soal nama, mengiyakan. Mami ikutan, alasannya wajah Tantan masih unyu buat dapat panggilan unyu. Tantan sendiri nyengir sepanjang diskusi kurang kerjaan Arvel, Rai, dan Mami Yulia. Kayaknya hanya aku yang waras, enggan menanggapi.

"Kamu belum pernah kena potong gaji karena ocehan kamu mengganggu saya?" Ancamku. Tantan langsung bungkam. Pura-pura fokus ke depan.

Mobil berhenti di pelataran drop-off. Tantan menekan tombol auto sliding door open. Aku berpesan agar dia memarkirkan mobil, kalau urusanku selesai, aku akan menghubunginya. Tantan mengangguk, nggak berani menimpali. Ancaman potong gaji manjur menghentikan mulut bawelnya.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis perempuan yang baru aku lihat menyapaku.

Aku menarik napas, agak malas mengikuti prosedur masuk gedung. Resepsionis yang biasa menerimaku pasti kenal siapa aku dan langsung menyerahkan kartu akses tanpa banyak basa-basi. Bukan maksud sombong, aku adalah istri CEO dari gedung perkantoran ini. Mereka yang mengenalku akan langsung mempermudah jalanku keluar-masuk gedung ini sesuka hati. Privilage sebagai istrinya bos besar. "Saya mau ke lantai dua puluh, mbak," kataku.

"Ada urusan dengan siapa, bu?" Kening resepsionis muda itu mengerut, pasti janggal menerima permintaan ke lantai dua puluh yang hanya diperuntukan bagi building management office.

"Saya mau bertemu Arvel dari divisi Marcomm, sudah menghubunginya tadi."

"Oh, baik, bu. Tolong KTP atau kartu pengenal lain."

Aku menyerahkan KTP, melirik kanan-kiri sambil menunggu resepsionis mengetik sesuatu di komputernya lalu memintaku melihat ke arah kamera kecil di atas meja. Prosedur masuk bagi non-karyawan di gedung ini memang sangat merepotkan.

"Terima kasih, Ibu Diara. Ini kartu visitornya," kata si resepsionis ramah. Aku balas tersenyum, mengucap terima kasih kembali, lalu mengambil kartu visitor itu.

Masuk ke dalam area dalam lobi, aku harus menempelkan kartu pada tapping machine di gate masuk. Bukannya mengarah ke koridor lift, aku meneruskan langkahku menuju auto-door di ujung lobi. Melewati pintu otomatis, aku akan tiba di taman indah yang diapit dua tower.

Aku suka taman ini, bergaya Greek dengan banyaknya patung-patung ala Yunani. Ada juga restoran yang bangunannya berbentuk rumah Palladian yang eksotis di sisi barat taman. Seolah taman ini adalah ruang yang diambil dari suatu era Eropa di masa lalu.

"Kakak ya, main datang seenak udel. Gue bisa kena amuk Rai kalau bolos tengah kerjaan." Arvel entah sejak kapan sudah berdiri tolak pinggang di dekatku.

"Maaf. Sini duduk." Aku menariknya ikut duduk di kursi taman yang terbuat dari batu. "Kakak bikin pancake. Makan bareng yuk!"

"Gue tahu lo bakal datang dan membuat gue kena semprot," kata Arvel misterius. Aku yang semula mau membuka kotak makan jadi termangu. Diam sesaat sebelum mengikuti arah pandang Arvel.

Raihan?

"Kamu di sini, Di?" Raihan berjalan santai mendekati kami. Aku meneguk ludah, baru berdiri.

Mari mulai akting terbaikmu, Di.

"Aku bikin pancake banyak di rumah. Daripada nggak kemakan, mendingan aku kasih Arvel," kataku lembut.

Raihan mengulas senyum. Kotak makanku diambil lalu diserahkan pada Arvel. "Bawa terus balik kerja sana," perintah Rai ketus pada Arvel.

Aku nggak bisa lihat tanggapan Arvel tapi aku mendesah sebal menatap punggung Arvel yang menjauh. Gagal deh punya teman makan bareng.

"Lain kali, kalau masak banyak, coba antar ke mami. Jangan Arvel, dia harus kerja, Diara." Rai berkata lembut sambil membelai rambutku. Siapapun yang melihat pasti mengira kami pasangan romantis. Tapi aku tahu makna tatapan Rai, dia nggak suka aku datang ke sini. Ke daerah teritorialnya.

"Aku mau antar ke kamu tadi. Tapi aku takut sesebapak CEO kita bersama sakit kalau makan masakan Diara Annasya yang nggak becus masak," balasku tidak kalah lembut.

Senyum Rai makin mengembang. Radar bahayaku ikut menegang. "Kalau begitu, coba belajar masak dengan benar." Rai merapatkan pipi kanannya pada pipi kiriku. Kulitnya dingin menyentuhku, mengantar ketegangan lain. "Aku juga tidak suka pancake," bisiknya. Napas hangatnya menyebabkan bulu kudukku berdiri. Lalu wajahnya menjauhi wajahku. Kami saling tatap.

Dia yang pertama mengalihkan pandangannya, menarik tanganku. Selalu begini tiap bersama Rai. Selalu saja...

###

04/03/2022

Kalian udah vote di IG aku?

Equivocal - We Spell Love, T.I.M.E!Where stories live. Discover now