13 : Am I The Good Guy, or Bad Guy?

641 17 1
                                    

Evan berlari di sepanjang koridor rumah sakit swasta yang terletak tak jauh dari kantornya. Wajahnya begitu panik dan menyiratkan kekhawatiran yang luar biasa. Keringat membasahi kening dan lehernya, karena ia sehabis berlari. Hatinya begitu berdebar ketakutan, rasa takut dan khawatir begitu menggerayangi dirinya.

Jelas saja, siapa yang tidak akan merasa seperti ini apabila dikabari orang yang disayangi mengalami kecelakaan dan masuk rumah sakit?

Satu jam yang lalu, ketika ia sedang melakukan meeting dengan perusahaan YouthWoods, tiba-tiba ada panggilan dari nomor yang tak ia kenal. Awalnya ia tidak mau mengangkatnya, tapi panggilan itu terus-menerus mengganggunya. Oleh karena itu ia mengangkat, dan betapa terkejutnya ia ketika mengetahui telepon itu dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa Ella mengalami kecelakaan. Ia segera melesat ke rumah sakit, dan sempat terjebak macet. Padahal, letak rumah sakit ini cukup dekat dari kantornya.

Mudah-mudahan Ella baik-baik saja.

"Permisi, Sus...pasien bernama Ella, ada di kamar nomor berapa? Dia baru saja masuk sekitar dua jam yang lalu...mengalami kecelakaan..." Evan mencegat seorang suster yang membawa map cokelat di koridor.

Suster itu berhenti dan mengecek map yang ia bawa, "Apakah Anda keluarganya?" tanyanya.

Evan mengangguk.

"Oh, kalau begitu...Anda ditunggu oleh Dokter Arya di ruangannya."

Evan mengernyit, "Tapi...apa saya tidak bisa menemui Ella terlebih dahulu? Saya..."

"Kondisi Ella akan dijelaskan lebih lanjut oleh Dokter Arya nanti, Pak. Bapak sudah ditunggu oleh beliau di ruangannya."

Evan mengangguk saja dan mengikuti suster itu berjalan menyusuri koridor yang berbau obat dan didominasi warna putih. Sepanjang Evan berjalan, terdapat beberapa orang yang matanya sembab dengan wajah sayu. Inilah alasan mengapa Evan tak pernah menyukai rumah sakit.

"Silakan masuk," Suster itu mempersilakan Evan, kemudian ia pergi berlalu. Ruangan Dokter Arya tidak terlalu luas, dan didominasi warna putih gading. Seorang pria yang sepertinya kepala empat duduk di balik mejanya, dengan mengenakan jas putih dan kacamata tebal. Beberapa helai uban menyembul dari rambut hitamnya. Pria itu mengangkat wajah dari dokumen yang sedang ia baca, kemudian ia mempersilakan Evan untuk duduk di seberangnya.

"Ada apa, Dok? Apakah...Ella baik-baik saja?" tanya Evan dengan hati berdebar. Semoga apa yang hendak disampaikan dokter ini bukanlah suatu yang buruk.

"Oh," Dokter itu melepas kacamatanya, "saya hanya mau menjelaskan mengenai kondisi Ella."

"Apakah dia baik-baik saja?" Evan mengulangi pertanyaannya dengan panik.

Dokter Arya tersenyum kecil, "Tidak. Tidak apa. Dia sudah sadarkan diri, kok. Sehat." Jawabnya. "Saya hanya mau bertanya, apakah pernah ada kecelakaan yang dialaminya sebelumnya, yang menyebabkan beberapa fracture di kepalanya?"

Evan mengangguk. Ia kemudian menceritakan kecelakaan yang dialami Ella sepuluh tahun yang lalu.

"Oh, saya sudah menduganya...amnesia," gumam Dokter Arya. "Tapi ia baik-baik saja ketika dibawa ke sini. Hanya luka kecil di keningnya. Tapi saya memiliki insting untuk melakukan x-ray padanya. Dan saya menemukan beberapa fraktur seperti ini."

Dokter itu menyodorkan hasil x-ray pada Evan. Evan agak terkejut melihat gambar kepala Ella, ia tidak terlalu mengerti. Tapi itu semua tidak penting, yang penting adalah Ella baik-baik saja.

"Lalu..." Evan menelan ludah, merasa lega sekali karena Ella baik-baik saja, "siapa yang menabrak Ella, Dok?"

"Ah, saya tidak tahu. Jelasnya tabrak lari. Saya kurang tahu. Yang terpenting adalah kondisi Ella kini baik-baik saja, bukan?" ia tersenyum.

RaindropsWhere stories live. Discover now