44

12.6K 1.1K 47
                                    

"Oh, My God. Man, lo kenapa Sean?"

Sean merenung sejenak sebelum menjawab Lutfi. Dia tahu dia salah dan dia tidak ingin menambah daftar kesalahannya. "Gue gak bisa nikahin Senna. Lo aja..."

"Gue?" Lutfi menunjuk dirinya sendiri, "Yah, makin dikatain cewek murahan dong Senna kalo kawin ama gue. Otak lo kenapa sih? Koslet?"

Sean mendengus. Nada bicara Lutfi sama sekali tidak ramah padanya. Kemungkinan besar Vita sudah menceritakan hasil pertemuannya dengan Senna kemarin. "Gue salah banget, ya?"

Mendengar nada bicara Sean yang lebih serius dibanding biasanya, Lutfi terdiam. Dia mengangguk memberikan jawaban tapi kemudian menjelaskan kepada Sean, "Wajar. Lo sama Senna gak kenal lama. Tambah lagi, sekarang mungkin lo lagi bingung antara bersalah banget sama dia, terus lo emang diposisi tertekan bro"

Sepupunya benar. Sean menganggukkan kepalanya mengerti. Memang dia merasa bertanggung jawab atas skandal dirinya yang menyeret nama Senna. Terlebih karena kedua anaknya yang membuat mereka berakhir seperti ini.

"Take your time, Se. Nikah itu perkara sulit. Gue ngomong begini karena kita punya banyak contohnya. Eyang kakung, Tante, bokap lo..." Lutfi menyandarkan tubuhnya kemudian, "Apalagi kalo lo cuma nikahin Senna karena lo kasian aja. Apa gak tambah beban lo nanti?"

"Ya. Lo bener, sih..." Sean menarik nafasnya dalam. Dia termenung kembali. Memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Senna sudah jelas memilih untuk melanjutkan hidupnya sendiri dengan tidak bertemu lagi dengan dirinya.

Sean? Dia masih memikirkan beberapa hal mengenai rencana hidupnya. Setidaknya ini menjadi pelajaran untuk dirinya agar tidak bermain perempuan lagi. Merepotkan ternyata, kalau sampai terjadi hal seperti ini lagi.

Lutfi yang menyadari sepupunya diam terlalu lama kemudian mengalihkan pembicaraan. "Emang Ares itu tengilnya lo waktu muda banget..."

"Ck..." Sean terkekeh kemudian. "Ya. Abis. Febi juga sama aja..." pria itu duduk dengan lebih santai kemudian. "Seenggaknya sekarang emaknya bisa ngontrol mereka"

"Oh, tinggal sama Mamanya? Jadinya gitu?" Tanya Lutfi memastikan. Seingatnya beberapa tahun belakangan ibu dari anak kembar itu memilih untuk menjadwalkan anaknya untuk tinggal. Bukan karena ingin memisahkan diri hanya saja perempuan itu merasa tidak enak dengan keluarga suaminya.

Sean menganggukkan kepala. "Oh, iya. Anyway, bokap mau nyalon presiden. Jangan lupa lo coblos kek contreng kek pas di jidatnya. Biar mikir pake otak sekali-kali itu bapak tua kalo ngusir anak sendiri niat banget sampe kedutaan mau bantuin..."

Lutfi sudah akan tertawa tapi beberapa detik kemudian dia tersadar. Ah, pria itu menaikkan satu sudut bibirnya. Dia sudah menemukan ketakutan Sean ternyata. Tapi pria itu memilih menunduk dan mengulum senyumnya.

"Kenapa lo senyum-senyum?" Tanya Sean dengan nada sinis, "Seneng amat lo gue diusir dari negara tanah air tempat bunda pertiwi menangis ini..."

"Lawak aja dah, Sean..." Lutfi melambaikan tangannya. "Cepet balik ke Jakarta. Taun depan anak lo rapotan dateng gih. Kasian si Ares, masa anak cowok mandirinya kebangetan..."

Sean mengerjap. Benar juga, anaknya tidak pernah meminta dirinya datang ke sekolah atau sebagainya. Mereka pasti selama ini mengalami kesulitan mengambil raport sendiri. Mengingat kartu hasil semester itu hanya bisa diambil orang tua, entah syarat apa yang anaknya lakukan untuk mendapatkan KHS mereka.

"See you on top, Sean..." Lutfi mengulurkan tangan untuk menjabat tangan adik sepupunya

...

Ketika Senna memandang langit siang itu, dia bisa melihat pesawat yang melintas tinggi di langit dan hanya berupa bayangan kecil.

IFMJIYWhere stories live. Discover now