19

15.7K 1.3K 20
                                    

"Acaranya kapan, San?"

Sandy yang sedang menjemur karpet di pagar rumah hanya bisa menoleh ke arah Senna.

Dua hari yang lalu, kakaknya datang dan menyewakan mobil untuk kebutuhan pindah rumah mereka. Senna memilih rumah kecil yang agak jauh dari kota dan menyewakan satu kamar kos untuk adiknya.

Rumah kecil yang orang tua Senna beli berada di pinggiran kota dan terlihat sangat adem. Mereka mendapatkan harga murah karena kebetulan Vita mengenalkan Senna pada pemiliknya yang sudah tua. Rumah itu mungkin memerlukan beberapa renovasi, tapi Senna bersyukur masih menemukan tempat yang layak.

Sandy, hanya bisa setuju mendengar usulan kakaknya untuk kos bulanan. Hanya sampai kakaknya menemukan tempat tinggal layak dan mereka akan tinggal bersama. Begitulah, kira-kira kehidupannya dengan kondisi keluarga yang seperti ini.

Anak cowok itu kemudian memukul-mukul karpet dengan penebah di tangannya. Menggunakan masker lalu bicara cukup keras kepada Senna yang sibuk memandanginya. "Mama emang gak bilang?"

Senna terdiam. Sejak dia kembali, ibunya itu masih saja tidak mau membuka pembicaraan padanya. Hanya sekedar ucapan dingin menyuruhnya makan atau mandi. Sudah, selebihnya, Mamanya tidak akan bicara.

Papa adalah orang yang paling sadar atas diamnya Mama dan kesalahan apa yang dirasa Papa cukup berat untuk dibicarakan. Tapi beliau hanya memilih diam dan tidak ingin ikut campur masalah anaknya dan istrinya itu.

"Kak, acaranya lusa..." Sandy mengambil kursi di sebelah kakaknya, "Sekolah Sandy baik-baik aja. Yah walaupun akhir-akhir ini agak ribet sih. Eh, tapi kalo nanti tinggal sama kakak, Sandy bisa keluar-keluar dong?"

"Gak usah sok asik..." Senna menyentil kening adiknya sampai cowok itu meringis, "Iya, kalo gak sama Mama Papa boleh-boleh aja. Asal, sekolahnya bener..."

"Itu..." Sandy menggaruk tengkuknya sedikit, "Butuh perjuangan kayaknya..."

Senna hanya mendengus. Tahu kalau adiknya ini agak susah belajar. Memangnya ada anak laki-laki yang hobi belajar? Rasanya jarang Senna menemukan anak seperti itu.

Lalu dia teringat Ares. Anak laki-laki Sean itu selalu saja lengket dengan gadgetnya dan bertingkah usil. Mendebat Febi adalah salah satu kegiatan wajib Ares. Tidak lupa mengorek informasi pribadi yang tidak penting ke dirinya.

Jangan sampai adiknya ini ketularan Ares.

"Kakak marahan sama Mama?"

Senna menganggukkan kepalanya. Inginnya berbohong hanya saja Sandy ini terlalu peka dengan situasi. Ditambah lagi, mereka kan sudah hafal kelakukan Mama mereka kalau sedang marah dengan anaknya.

"Kenapa? Masalah apa, sih? Kok sampe lama gak ngomong?" Sandy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selalu bingung dengan acara ngambek antara Mama dan Kakaknya. "Apa gara-gara kakak gak pernah pulang? Makanya jangan kebanyakan kerja..."

Jantung Senna berdetak tidak karuan. Rasanya dia tidak siap kalau sampai Sandy mengetahui apa yang dia lakukan untuk mendapatkan uang tambahan.

"Ya, udah. Sandy bantu Papa dulu..."

...

"FEBI LUCKNUT APAAN SIH AH! BISA MENINGGAL NIH GUE LAMA-LAMA!!!!" Ares berteriak dan mendorong saudara kembarnya sampai terjatuh dari sofa yang sedang menjadi tahtanya

Febi meringis. Gila adik kembarnya itu dapat kekuatan john chena mungkin. Kuat sekali mendorong dirinya. Padahal tadi Febi hanya melompat tanpa sengaja ke sofa dan menindih adiknya itu. Salah sendiri menyelimuti diri sekujur badan, kan? "JAHAT BANGET SIH! GUE JATOH NIH KEBAWAH!"

Ares menyembulkan kepalanya, "YE KALO JATOH MAH KEBAWAH GOBLOK..."

"INI KALIAN GAK MAU SEKALIAN PAKE MIC KARAOKE PUNYA PAPA APA BIAR SEKALIAN KEK TOA MASJID..."

"PAPA TUH TOA MASJID ARAB!"

Bentakan kedua anaknya yang kompak membuat Sean menelan ludah dan kembali melipat selimutnya. Tadi Febi masuk ke kamarnya dan mengambil selimut putih yang berada paling bawah di lemari sampai berantakan. Jadilah, dia sampai sekarang sibuk menyusun bed cover dan selimut yang berjatuhan karena anak gadisnya itu.

"Ares!!!! Bagi sofanya dikit aja, gue mau bobo..." kembali rengekan manja dari Febi keluar sambil menarik-narik selimut adiknya

Ares dengan kepala yang masih menyembul, menatap dengan tajam kepada Febi, "Diujung sono!"

"Haduh, Papah tuh pusing sama kalian berdua..."

"Enggak nanya!"

"Enggak peduli!"

Sean melongo. Anaknya sudah sangat kejam kalau mereka berdekatan begini. Tapi kalau jauh, kedua anaknya pasti sakit. Lama-lama Sean jadi merasa seperti imun tubuh kalau begini. "Senna abang kangen huhuhu...."

Febi dan Ares yang entah bagaimana bisa secara bersamaan melemparkan ponsel mereka ke Sean sebagai respon ucapan pria itu. Bisa-bisanya memikirkan simpanan di saat ada kedua anak remajanya?

"Sakit woy!" Sean memunguti ponsel anaknya, "Ini Papa sita pokoknya..."

"Terserah..." sinis Ares kemudian kembali berkata tanpa memedulikan kembarannya yang sudah berada di ujung sofa berlawanan, "Ngapain sih cewek kayak gitu dipikirin. Murahan..."

"Deposit Papa gede soalnya..."

Febi melirik dengan malas kepada Papanya, "Aneh... Orang aneh... Gila aja terus, Pah. Kena karma mampus dah..."

"Wah... Papa coret nih dari ahli waris Papah..." Sean mengangkat jarinya menunjuk-nunjuk kedua anaknya bergantian

Ares yang tidak terkma langsung menelan ludah dan memutuskan menoleh sepenuh tenaga ke pria yang sudah bersidekap menatap mereka, "Pah! Yang cinta duit Papah bukan cuma itu cewek! ARES JUGA KALI PAH!"

"Ya Allah... Begini amat dapet dosa, anak gue kenapa gini amat sih..."

IFMJIYOnde histórias criam vida. Descubra agora