20

15K 1.3K 16
                                    

Sean sudah memperhatikan anak perempuannya yang aneh belakangan ini. Anak gadis itu akan memilih bolos dari sekolahnya, lalu pulang bersamaan dengan Ares seolah-olah mereka habis sekolah. Walaupun Sean tahu kebenaran anaknya yang bolos, dia memilih diam. "Woy, kakak kamu kenapa gak mau sekolah?"

"Kayak gak pernah muda aja..." komentar Ares yang kemudian menghindar secepat kilat dari pentungan sendok nasi Sean yang dipercaya lebih menyakitkan daripada pukulan Dayang Sumbi kepada Sangkuriang, "Papah nih, kalo Ares benjol gimana? Ilang nih rumus limit di kepala Ares..."

"Ye... Integral aja belom udah bahas limit ae bocah..." Kesal Sean

"Limit kartu kredit Ares maksudnya..."

Sekali lagi Sean hampir berhasil menjitak kepala anak lelakinya itu. Mungkin dulu dirinya sebandel ini sampai anaknya tidak ada yang berkelakuan manis. Selalu ada cara membuat dirinya kesal dan marah. Tapi mereka selalu bisa menenangkan hati Sean. Anehnya begitu. Ternyata menjadi orang tua itu melelahkan.

Ternyata begini maksud arti kata buah hati itu. Punya anak itu seperti merelakan hatinya selamanya berjalan di luar bagian tubuhnya. Sean menarik nafas dengan pasrah mengusir rasa khawatirnya kenapa Febi tidak mau kembali ke sekolah.

"Tumben Papa kepo?" Ares sudah selesai dengan makanannya. Menunggu Sean yang tampaknya ingin bicara kepada dirinya

"Enggak, cuma penasaran kenapa Febi males sekolah. Papa kan bayar mahal buat sekolah kalian..." gerutu Sean. Bukannya pelit, tapi masalahnya biaya sekolah kedua anaknya memang tidak murah. Sean cukup banyak mengeluarkan penghasilannya agar kedua anaknya bisa sekolah dan hidup mewah seperti sekarang.

Ares mengedikkan bahunya, "Tenang aja dia gak jual diri kayak perempuan----" Ares kembali menghindar dari serangan tiba-tiba Sean dan berdiri cukup jauh, "Wetseh!!!!! Papah mau bunuh anak sendiri? Jangan Pah, dosa... Cukup kumpul kebo aja, jangan tambah pake bunuh anak sendiri"

"Mulut kamu itu..." Sean mengibaskan tangannya sambil menarik nafas dengan dalam. "Kenapa kamu suka banget ngomong yang gak bener sih..."

"Ye..." Ares mengambil piringnya dan mulai mencuci di wastafel, "Orang bener juga... Papah nih, kenapa sih suka banget begitu?"

"Kalo tau rasanya juga kamu bakalan kicep..." Sean mengirimkan tatapan tajamnya sambil melanjutkan omelannya yang lain dalam hati

"Idih! Papah doain Ares jadi brengsek kayak Papah?!"

"Lah?! Res! Papah pelintir kamu lama-lama..."

Ares kemudian menyelesaikan mencuci piringnya dan menghampiri Sean. "Kenapa gak nikah aja, sih?"

Sean tidak menjawab. Tatapannya berubah menjadi serius kepada anak laki-laki yang mewarisi seluruh bentuk wajahnya ini.

"Oh, iya..." Ares memainkan apel di tangannya dan melirik Sean dengan malas, "Papa kan takut ya? Papah kan gak bisa nikah karena punya Ares sama Febi..."

"Ares..." Sean menghela nafas

"Lupa deh kalo Ares sama Febi cuma kesalahan Mama sama Papa. Lupa juga kalo kita berdua cuma bikin sial..." Ares berdiri dan melangkah meninggalkan pria itu, "Sorry deh, Pah. Besok-besok kita gak ikut campur urusan pribadi Papa sama Mama lagi..."

...

Senna memilih beberapa potong ayam fillet di depannya. Sore ini, Sandy dan dirinya diminta membeli beberapa bahan ayam koloke untuk makan malam. Sandy dengan motornya kemudian membonceng Senna menuju supermarket yang paling dekat dengan rumah.

"Apalagi yang kurang, kak?" Sandy segera mendapat perhatian sang kakak. Dia datang dengan troli belanjaan yang hampir penuh. Mereka membagi tugas tadi.

"Mama nih, makan malem doang pake segala masak macem-macem... Acaranya aja besok ih, suka banget kerja dua kali..."

"Gak baik kak ngedumel soal Mama gitu. Kakak aja nih, cepetan milihnya. Itu ayam fillet sama aja semuanya..." Sandy mengambil satu bungkusan dan meletakkannya di troli

Senna mencebik. Dia tadi memilih dengan teliti apakah ada sisa darah atau tidak. Senna sedikit parno dengan daging-daging hewan. "Ah, terserah deh. Yuk, kasir..."

Sandy mengikuti kakaknya dari belakang. Dia memperhatikan saja kakaknya yang berjalan sambil menoleh kesana kemari. Sepertinya perempuan itu akan selalu mengambil kesempatan untuk membeli barang yang tidak di butuhkan. Tapi dia kemudian menoleh ke arah anak laki-laki yang seumuran dengannya tiba-tiba saja menyapa kakaknya.

"Woi, mbak..."

Senna menoleh. "Ares? Ngapain mainnya kok jauh banget?" Tanya Senna yang kebingungan mendapati Ares sudah menyengir di depannya

Anak laki-laki itu bukannya menjawab malah menoleh ke arah Sandy. "Oh, hai. San..."

"Gak usah sok kenal..." gerutu Sandy

"Loh kalian saling kenal?" Senna membalikkan tubuh menunjuk bergantian adiknya dan juga Ares

Ares juga Sandy mengangguk sebagai jawaban. Anak bungsu Sean itu bahkan mendekati Sandy dengan seringai yang mencurigakan. "Wah... Gak nyangka gue lo aslinya begini..."

Sandy melepaskan rangkulan Ares kepada dirinya. "Kok lo kenal kakak gue?"

Ares melirik ke arah Senna. Perempuan itu tampak ketakutan dan khawatir ketika Ares akan memberikan jawaban. Anak laki-laki itu tersenyum, "Oh, anak buahnya bokap..."

Adiknya mengerutkan kening. "Mbak kerja sama Papanya? Seinget Sandy bapaknya bukan pengacara..."

"Hm... Itu..."

"Papa Lutfi gue..." Ares memotong dengan cepat. "Eh, gue balik duluan. Febi lagi sakit. See you soon..."

Senna sudah tahu kalau maksud ucapan Ares itu ditujukan kepada dirinya. Dia hanya bisa memandang kepergian anak bungsu Sean dengan perasaan campur aduk. "Akrab San sama itu anak?"

"Gak... Dia anak kelas sebelah..."

"Oh, syukur deh..."

IFMJIYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang