Dan...

303 4 0
                                    

"Hei, yang ulang tahun kok sedih?" tanya Denny duduk di sampingku. Aku menggeleng lesu. Sambil memainkan sendok dari semangkuk bakso yang kini telah dingin.

"Kara, makasih baksonya." Beberapa temanku memelukku cepat dan diiringi beberapa ucapan selamat ulang tahun. Aku memasang senyum terbaikku sambil mengangguk dan membalas lambaian tangan mereka yang meninggalkan warung bakso.

"Pulang, yuk," ajakku memungut tasku.

Denny melirik seporsi baksoku yang masih utuh. Es teh manis yang biasanya bisa menambah nafsu makanku saja hanya berkurang beberapa mililiter saja. Ia menurut dan segera menyusulku.

Saat Denny mengeluarkan motornya dari parkiran, ponselku berbunyi nyaring. Membuyarkan lamunanku. Kulihat layar ponselku. Ibu. Jarang ibu menelfonku jika tidak ada urusan yang penting.

"Ibu?" tanyaku hati-hati. Aku mendengar isakan tangis Ibu. Mendadak perasaaku menjadi tidak enak.

"Kara? Kamu dimana?" tanya Ibu disela tangisnya.

"Aku baru mau pulang, Bu. Ibu kenapa?" tanyaku khawatir.

"Jangan pulang. Kamu kerumah sakit sekarang..."

"Ibu sakit apa?"

"Ayahmu... Ayahmu kecelakaan. Dia di rumah sakit sekarang. Ibu mohon, kamu kerumah sakit sekarang."

Bagaikan tersambar meteor. Aku mendadak tuli, tidak mendengar kata-kata Ibu selanjutnya. Tanpa butuh waktu lama, aku sudah meloncat ke motor Denny dan berteriak kesetanan menyuruhnya segera memacu motornya ke rumah sakit.

Denny sepertinya tahu kekalutanku. Motornya melebihi rata-rata kecepatan normal motor. Beberapa lampu merah tidak dilihatnya. Celah sempit diantara dua mobil bagaikan jalan terindah di matanya. Berkali-kali kami dihadiahi klakson emosi pengendara lain. Bahkan beberapa umpatan sempat kudengar

Setelah berlari dan berteriak pada seorang suster yang lambat memberi tahu kamar Ayah, akhirnya aku melihat Ibu. Bahunya terguncang pelan. Ia menangis dalam pelukan bibiku.

"Ibu...," kataku lirih. Denny berdiri di sampingku dengan nafas yang tidak teratur. Bahkan kami berdua masih mengenakan helm.

Ibu melihatku dan langsung menangis di bahuku. Ia memelukku kencang seakan takut jika ia tidak memelukku dengan kencang, ia akan jatuh.

Satu jam...

Tiga jam...

Lima jam...

Lampu ruang operasi masih menyala, menandakan jika ada seseorang yang sedang bertarung nyawa di dalamnya. Sudah tidak dapat dihitung dengan jari berapa dokter dan suster yang keluar masuk ruangan itu. Bahkan aku bersumpah melihat sebercak noda darah pada lengan jas salah satu dokter. Darah Ayah...

Aku heran dengan air mataku yang masih turun dan bibirku yang tidak berhenti memanjatkan doa. Tanganku kebas karena sejak tadi meremas tangan Ibu. Syukurlah saat ini Ibu mau diajak shalat Denny, setelah sebelumnya aku shalat bersama Bibi.

"Permisi, kami membutuhkan golongan darah B. Mungkin ada keluarga yang memiliki golongan darah B?" tanya seorang suster.

Aku menatap Bibi bingung.

"Bibi telfon keluarga besar dulu. Mungkin ada yang memiliki golongan darah B." Bibi mengeluarkan ponselnya dan berkutat dengannya.

"Tapi, sudah tidak ada waktu lagi," suster itu terlihat bingung.

Aku menatap Bibi kembali. Aku tahu jika Ibu bergolongan darah B. Tapi...

"Golongan darah saya B," kataku menatap suster itu mantab.


Kado Terakhir [ √ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang