06 🔰 R

852 49 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang saat kelas gue sudah mulai ramai di penuhi oleh anak-anak yang sedang berlomba untuk cepat- cepat keluar kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang saat kelas gue sudah mulai ramai di penuhi oleh anak-anak yang sedang berlomba untuk cepat- cepat keluar kelas. Gue masih di dalam kelas karena gue malas ikut hanyut dalam lautan anak- anak tengil di kelas gue yang sekarang memenuhi pintu keluar kelas. Begitupula Linda. Sahabat gue itu bahkan sedang mengelap ilernya yang menghiasi wajahnya. Memang sejak pelajaran terakhir tadi ia sibuk untuk bermimpi ke alam baka daripada memperhatikan guru yang sedang mengajar.

"Habis ini lo mau kemana?" Tanya Linda dengan tampang masih mengantuk.

"Pulang lah. Lagi gak enak badan gue."

Linda hanya mengangguk acuh, "Ya udah gue duluan deh. Lo di jemput pak Bejo kan?"

"Iya gue sama pak Bejo."

"Kenapa lo lemes gitu deh jawabnya? Gak mau pulang sama pak Bejo?"

Gue meletakkan kepala gue di atas meja dengan lunglai, gue memejamkan mata. Sebenarnya gue lagi bingung kenapa gue gak sesemangat ini saat pulang sekolah. Biasanya kalau bel pulang sekolah berbunyi, gue selalu ceria karena setelahnya Aldo sudah menunggu di depan kelas gue. Biasanya laki- laki itu menyenderkan tubuhnya pada tembok dekat pintu lalu ia akan memejamkan matanya menunggu gue untuk keluar kelas gue.

Anjir kenapa lo jadi hafal kebiasaan Aldo sih Adinaya? Lo gila, benar-benar gila!

"Gak. Gue lagi gak enak badan aja." Dalih gue berbohong pada Linda.

"Apa perlu gue temenin lo?"

"Udah lo pulang sana. Gue beneran gak papa."

"Yakin nih?"

"Iya."

Dan setelah itu Linda pergi meninggalkan gue seorang diri di dalam kelas. Gue masih dalam posisi yang sama namun kali ini gue menyembunyikan wajah gue dalam lipatan tangan gue.

Gue mencoba memejamkan mata gue, dan yang muncul di bayangan gue adalah senyum kecil dengan lesung pipi yang tadi siang gue lihat. Sejak pelajaran tadi bahkan senyum itu terus menghantui gue hingga membuat gue tidak bisa untuk berkonsentrasi pada pelajaran.

"Astaga. Gue kenapa sih?" Gue mengangkat kepala gue, meraup wajah gue dengan rasa frustasi.

"Kenapa? Lo sakit? Pak Bejo udah nungguin di depan tuh!"

Gue hampir saja menjerit kencang kalau saja gue gak langsung membekap mulut gue. Dan sialnya jantung gue mulai bergemuruh liar saat gue melihat senyum kecil yang sejak tadi menghantui gue.

Bahaya Adinaya. Bentar lagi lo bakal nyusul nenek lo ke surga!

"Kenapa sih? Horor banget kayaknya kalau ngelihat gue di sini."

Gue menggeleng dengan leher yang sekaku robot.

Aldo tertawa. Dan sialnya tawanya bikin usus di perut gue langsung keriting seperti mie instan kesukaan gue.

"Lo kesurupan? Gak biasanya lo jadi diem kayak gini. Lo kan biasanya bawel."

"Apa sih gak jelas." Mati-matian gue menahan suara gue agar tidak terdengar grogi.

Ya ampun Adinaya. Sejak kapan sih lo jadi grogi saat ngobrol sama donat manis kesukaan lo itu?

Hah apa donat?

Aldonat?

"Jangan kayak gitu dong wajah lo. Jadi tambah nyesel gue dulu ngelepasin lo buat sahabat gue."

Gue termangu dengan wajah panas hingga menyebabkan jantung gue bekerja awur- awuran. Dan parahnya laki- laki di depan gue dengan jarak meja gue itu menatap gue dengan tatapan tajam namun menyejukkan. Dia menghembuskan nafas pendek lalu kembali tersenyum kecil. Tangannya terulur untuk menyentuh rambut depan gue yang hampir menutupi pandangan gue. Dengan langkah pelan ia menyisihkan rambut gue tepat di belakang telinga gue. Setelah itu ia menyentuh pipi gue dengan menggunakan jemari jempolnya.

"Kenapa Tuhan bisa menciptakan perempuan secantik lo sih? Gue hampir gila karena hanya wajah lo yang setiap harinya berada di bayangan dan mimpi gue. Dan parahnya gue pernah bermimpi kalau suatu saat gue pasti memiliki putri yang sama cantiknya dengan lo, bahkan mirip sama lo Adinaya."

"Do... " Kata gue lirih hampir berbisik.

Aldo melepaskan usapan jempolnya lalu tersenyum pahit, "Maaf Adinaya." Katanya lirih.

Dan entah kenapa saat ini gue merasa sedih. Dengan keberanian entah dari mana gue kembali menarik tangan Aldo lalu menempelkannya pada pipi gue. Gue dapat melihat reaksi kaget dari Aldo namun gue tidak perduli akan hal itu.

"Hangat. Gue suka Do." Kata gue lalu memejamkan mata gue merasakan hangat tangan Aldo yang melingkupi pipi gue.

"Gue harap ini bukan mimpi." Bisik Aldo sambil mengusapkan jempolnya kembali.

"Bukan. Ini bukan mimpi." Kata gue lalu tersenyum tipis.

"Jangan jauhin gue lagi ya Do. Gue gak suka sendiri. Gue sukanya bareng sama lo. Gue gak suka lo berubah sama gue. Gue... "

Perkataan gue terhenti karena sekarang Aldo menangkup pipi gue dengan menggunakan kedua telapak tangannya.

"Gak akan lagi. Untuk sekarang ataupun selanjutnya. Gue akan selalu berada di sisi lo Adinaya."

"Sekarang anterin tuan putri pulang ya. Tapi sebelum itu tuan putri pengen makan donat. Bolehkan kalau kita pergi beli donat dulu?"

Aldo tertawa lalu mencubit hidung mancung gue. Laki- laki itu berdiri lalu mengulurkan tangannya. Dengan perasaan bahagia gue menerima uluran tangan Aldo.

"Kemanapun tuan putri suka, pangeran Aldo yang ganteng ini akan selalu siap sedia mengantarkan tuan putri."

Gue memukul bahunya, "Najis banget sih Do!"

"Dih yang mulai duluan kan lo Adinaya!"

"Kok jadi gue?"

"Terus siapa kalau bukan lo?"

"Mungkin pak Bejo." Kata gue lalu tertawa geli. Gue dan Aldo sudah keluar kelas dengan tangan yang bergandengan erat.

"Gak mau sama pak Bejo."

"Terus maunya siapa?"

"Adinaya saja sudah cukup."

Sekali lagi gue memukul bahunya, "Ih rese ya lo Do!"

Long Distance RelationShit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang