iv. gemerlapan

2.3K 521 70
                                    

Kedua manik mata tajamnya tertuju pada satu objek. Sesekali dia menyeruput double shot Espresso yang berada di tangan kirinya. Dia terlihat seperti laki-laki di tengah umur dua puluhan pada umumnya. Laki-laki berpenampilan layaknya salah satu karyawan kantoran yang sedang menghabiskan waktu istirahat. Duduk santai seolah menunggu balasan surel. Tanpa ada gelagat mencurigakan. Tidak diketahui maksud dan tujuannya yang sebenarnya.

Pria dengan setelan jas semi formal itu tengah mengamati seseorang. Perempuan berambut panjang sepunggung yang sedang mengantri di depan mesin ATM. Objek yang menjadi fokusnya sejak beberapa menit lalu.

Segala gelagatnya sudah dia kenali dan berada di luar kepalanya. Dia tahu apa saja yang akan dilakukan itu saat kebingungan, bosan, terkejut, tertawa, bahkan ketika tengah bersedih sekalipun.

Seperti detik ini, perempuan itu akan bergerak mundur setiap selesai dari mesin ATM. Ketika dia tahu kalau gadis tersebut telah selesai berurusan dengan mesin penyalur uang, dia bergegas memasukkan laptopnya ke dalam tas tangan dan menghampirinya.

Dukkk!

Dia yang sengaja menghampiri gadis itu pun menabrakkan diri. Seringai tersungging di bibirnya. Kata maaf saling terucap. Dengan sedikit basa-basi, dia hadir di hadapan gadis itu untuk yang kedua kalinya. Lucu sekali, Son Seungwan tidak mengenalinya. Padahal memar di wajahnya belum sembuh seratus persen.

Tidak perlu heran. Hal tersebut justru menguntungkan baginya. Dia tahu, Son Seungwan pasti tidak akan ingat dengannya hanya karena satu kali pertemuan singkat itu. Ah, sesungguhnya tidak dapat dikatakan sekali saja. Karena dia sudah kerap bersama perempuan itu walau tanpa sepengetahuannya.

Obrolan tidak penting dan terdengar ringan santai itu pun berlangsung. Dia hadir dengan kesan yang sangat natural. Seperti lelaki ramah pada umumnya, meski sesungguhnya dia jauh dari kategori seseorang yang talkative. Bersamanya, dia merasa berbeda. Menjadi pribadi lain dan sangat menyenangkan. Senyum di bibirnya pun tak bosan untuk berkembang.

"Coba hubungi Call Center Bank tempat kau menyimpan uang jika terdapat sesuatu yang aneh. Atau kau ingin saya temani untuk melaporkan kejanggalan itu?"

Son Seungwan mengangguk pelan, seperti dugaannya. Hanya perlu waktu sejenak sebelum tiba-tiba gadis itu berkata, "Benar! Saya harus tanyakan ke Call Center dulu. Kalau ke Bank, waktunya tidak akan cukup."

"Oh, kau sedang sibuk?" tanyanya. Masih betah berbasa-basi.

"Ya, aku harus kembali bekerja." Gadis itu menyunggingkan senyum. "Sampai jumpa."

Dia diam saja. Wajah ramah itu seketika menghilang saat Son Seungwan melenggang pergi.

Dalam hati, dia mengutuk rasa terpendam yang semakin lama bermukim dan kini semakin kuat. Matanya masih menatap sosok gadis itu tanpa berkedip. Dan pandangannya mulai sayu saat Son Seungwan menghilang di persimpangan.

Tidak bertahan lama, dalam satu kedipan saja sorot kedua matanya berubah menjadi lebih tajam. Layaknya harimau yang siap menerkam kancil yang sedang menikmati air pada aliran sungai. Sebuah seringaian kembali mengembang.

"Kau harus bekerja? Ya, aku juga punya kesibukan yang tentu saja bisa membuatmu tersenyum seperti tadi, Son Seungwan," gumamnya sembari berjalan menjauh dari titiknya berdiri.

Pada detik yang bersamaan, Son Seungwan memasuki toko roti milik kakak sepupu tetangganya. Di balik mesin kasir, berdiri Jung Hoseok yang tengah sibuk menghitung lembaran uang hasil penjualan dalam setengah hari ini. Pria itu dengan santai menyambut Seungwan dengan sebuah pertanyaan.

"Dari mana saja? Kenapa lama sekali?"

Seungwan meringis canggung. Tak enak hati. "Maaf, tadi saya harus ke ATM dulu. Antriannya lumayan ramai dan memakan waktu."

ANYWHEREWhere stories live. Discover now