i. teledor

4K 690 120
                                    

Kehidupan itu seperti laut. Kadang pasang, kadang surut. Dan takdir itu seperti roda, terus berotasi, membuatmu sesaat berada pada puncak dan kemudian menurun seiringan dengan suratannya. Kehidupan dapat digambarkan layaknya sebuah kanvas. Dihiasi oleh berbagai warna yang tertera di permukaannya. Sering kali terlukis warna-warna indah, namun tak jarang dicorengi oleh nuansa kelam.

Dan pada saat ini, dia merasakan sensasi terburuk dalam hidupnya. Dia sedang berada pada laut yang surut, titik terendah, dan kanvas kehidupannya yang moreng oleh ketidak beruntungan. Menyedihkan memang. Jika orang-orang tahu bagaimana kondisinya sekarang, mungkin mereka akan bersimpati dan merasa sangat kasihan. Akan tetapi, senyum manis itu masih dapat dia andalkan sebagai topeng. Senjata paling ampuh untuk memanipulasi pandangan orang lain. Di mata awam, dia selalu terlihat bahagia. Namun sesungguhnya ekspektasi tersebut justru berbanding terbalik dengan realita yang dia jalani.

Namanya Son Seungwan. Gadis berumur dua puluh tiga tahun yang baru saja menyelesaikan studinya di strata satu. Lulus dengan nilai kumulatif terbaik di fakultasnya, namun ditolak berkali-kali saat melamar pekerjaan.

Dia termenung dengan nasibnya. Rupanya, untuk mendapatkan pekerjaan yang diimpikan itu sungguh sulit. Sebuah pelajaran berharga kembali dia terima hari ini. Tak perlu nilai terbaik dalam pelajaran. Cukup paras cantik, tubuh semampai dengan lekuk yang aduhai, cara berpakaian terpandang, pandai berdandan dan berbicara serta merayu, maka kamu akan mendapatkan sebuah pekerjaan dengan mudah. Dan Son Seungwan kekurangan banyak poin untuk hal tersebut.

Dia biasa saja. Tidak ada yang spesial. Hidupnya monoton. Tiada arah dan tujuan. Ya, hanya sekedar ada di sana dan menjalani hari-hari dengan wajar. Terpisah dengan orang tua sejak lima tahun yang lalu demi pendidikan dan perkembangan ekonomi keluarga. Dia terpisah jauh dari kedua orang tuanya jauh oleh belahan dunia untuk mencari nafkah, sedangkan dirinya harus bertahan agar tak menjadi beban berat bagi mereka.

Son Seungwan menghela udara. Menghembuskan karbon dioksida ke udara Seoul yang selalu tercemar. Dia menyudahi rasa kasihan kepada diri sendiri dengan memejamkan mata. Terhanyut dalam kebisingan kota besar dengan hembusan angin pergantian musim.

Usai menata hati, dia mengambil sebungkus roti dari tas tangannya. Memaksa diri untuk mengisi perut meskipun tak berselera. Perlakuan para pegawai yang mewawancarainya hari ini jauh dari kata hangat, bukan menjadi halangan Seungwan untuk bertahan hidup. Menyantap nasi sekali sehari, ramyun dan roti sebagai pengganjal sarapan dan makan malam sudah lebih dari cukup untuknya.

Uang di dompet masih dapat mencukupi kebutuhannya untuk dua minggu ke depan. Dan Seungwan harus memutar otak karena hal ini. Gelar strata satunya tak berguna. Apakah dia harus kembali bekerja paruh waktu kemana-mana seperti dulu?

"Apa saja prestasi anda selama masa perkuliahan?"

"Dari segi penampilan, anda tidak cocok menjadi seorang sekretaris. Kami mempunyai standar tersendiri."

"Curriculum vitae yang anda buat benar-benar rapi dan dapat mengelabui setiap perusahaan untuk meloloskan anda pada tahap administrasi."

"Maaf, Nona Son Seungwan. Anda tidak lolos pada tahap ini."

Berbagai kalimat yang sudah Seungwan ribuan kali. Penolakan setiap perusahaan yang dia kirimi lamaran. Siapa bilang mencari pekerjaan itu gampang? Lowongan memang berhamburan di mana saja.

Perempuan sederhana sepertinya akan sangat sulit mendapatkan mata pencaharian dengan mengandalkan latar pendidikan jika stereotipe yang ada tak pernah berubah. Kolot dan materialistis. Tak menilai kemampuan, ketelatenan, kualitas dan kuantitas calon pegawai dalam melaksanakan tugas.

ANYWHEREWhere stories live. Discover now