#3

5K 589 228
                                    

Ich lasse Dich nie allein
I will never leave you

Aditya

Jari-jari tangan Nabila lagi sibuk berdansa menggelitik diatas telapak tangan gue yang terlampau besar dibanding tangan mungil dia. Sesekali gue mengatup jarinya, terus dia ketawa. Persis anak kecil yang lagi main terus ketangkep lawannya. Gue ikut ketawa juga jadinya. Lucu aja liat Nabila yang biasanya serius bisa tiba-tiba berubah menggemaskan kayak gitu. Ya maklum, gue udah biasa ketemu dia yang baru aja keluar dari lab dengan wajah lusuh, capek, dan stress. Tapi Nabila masih mengusahakan menarik bibirnya jadi sebuah senyuman pasrah.

"Gimana, lancar uji cobanya?"

"Hampir, Dit. Sedikit lagi. Mungkin di lab berikutnya sukses."

Disaat seperti itu, yang gue lakukan cuma meluk dia. Ceritanya reward untuk dia yang udah kerja keras. Hal tersebut juga lah yang gue lakukan kali ini. Nabila mungkin udah bosen main tangkap-tangkapan jari. Dia nyerah setelah sepuluh kali percobaan. Setelahnya ya dia melamun lagi. Dan gue tau betul apa yang ada di dalam pikirannya, karena gue pun mengalami hal yang sama.

Pulang. Kata ini jadi punya dua makna bagi gue dan Nabila. Satu, pulang ke tempat asal. Dua, kembali ke perantauan. Yang kami alami saat ini, arti pulang yang kedua.

Setelah bersusah hati melambai-lambai tangan sama yang mengantar kami ke bandara. Seketika pas udah lewat gerbang keberangkatan rasanya jadi hampa. Besok, nggak ada lagi udara Indonesia yang paling sering kami rindukan, nggak ada juga makanan dan jajanan yang nanti kalau sudah di Jerman bakal dengan sangat niat kami sengaja buat dan akhirnya gagal.

Besok gue dan Nabila udah di Jerman, di rumah kedua yang jadi dunia kecil kami. Dunia yang isinya cuma Adit dan Nabila lagi melawan dunia. Besok, gue dan Nabila udah di Jerman, meninggalkan kenangan lama dan membuat yang baru disana, seperti tahun sebelumnya, dan dua tahun yang akan datang selanjutnya.

Kalau katanya jadi seorang bapak itu udah paling kerasa punya tanggung jawabnya, coba rasain jadi seorang mahasiswa di luar negeri yang jauh dari keluarga dan sanak saudara. Kayaknya rasanya sama. Disana semua asing, beradaptasi pun nggak bisa sehari dua hari. Lo akan tiba-tiba bertanggung jawab atas diri lo sendiri, baik itu keselamatan atau pun keberlangsungan hidup lo. Nyerah dikit ya lewat.

Apalagi buat gue, tanggung jawab itu bukan cuma untuk diri sendiri, tapi juga Nabila. Si cantik yang barusan menggeser duduknya lebih dekat dan menaruh kepalanya di pundak gue.

Gue udah pernah bilang belum ya kalau dengan merantau ke Jerman ini rasanya hubungan gue dan Nabila jadi lebih romantis? Ya gimana nggak romantis. Gue cuma punya dia di Jerman, begitu pula sebaliknya. Disaat begini lah gue kembali keinget motto pacaran kami berdua: Adit and Nabila against the world, remember?

Iya, bi, it's us against the world now. The us that stands only for you and me.

"Kamu lagi mikirin apa sih, Dit?"

Gue mencium puncak kepalanya sebelum menjawab. "Masa depan."

"Aku ada disana?"

"Ada."

Dia ketawa pelan, "Makasih ya, Dit."

"Makasih buat apa, bi?"

Matahari bersinar paling cantik pas pagi-pagi, dan paling berkesan di waktu senja. Tapi yang kali ini gue lihat kayaknya nggak kenal waktu. Yang ini nggak peduli pagi, siang, malem, tetep cantik. Apa yang gue lihat? Mata Nabila, dia lagi menoleh dan natap gue.

"Makasih soalnya Adit suka nguat-nguatin diri buat aku. Kamu nggak pernah sedih biar aku nggak sedih juga. Padahal ninggalin rumah kan sedih buat semua orang."

nirvanaWhere stories live. Discover now