#11

2.5K 412 147
                                    

Du bis mein ein und alles
You are my everything

Nabila

Sudah hampir sebulan sejak kepergian papa. Dan dalam jangka waktu tersebut, aku belajar untuk kembali menata hidup yang sempat jatuh, dan kembali menjadi Nabila Milena yang sebelumnya, dan yang harus patuh sama pesan papa; kalau ada sesuatu yang membuat kamu sedih, jangan diam terlalu lama merenungi hal tersebut, karena pasti ada yang lain yang jauh lebih penting untuk dihadapi dengan senyuman, bukan sebuah kesedihan.

Dan begini lah aku sekarang, mungkin sudah, atau masih dalam proses terakhir untuk kembali menjadi normal. Aku sudah bisa senyum dan tertawa di banding minggu-minggu pertama setelah ditinggal papa. Kerjaanku ya menangis sehabis mengingat kenangan-kenangan bersama papa dulu. Rasanya, untuk bagian ini aku harus banyak-banyak berterimakasih sama Adit, karena dia punya andil besar dalam pulihnya seorang Nabila.

Waktu sampai Munich setelah kepulangan tiba-tiba ke Indonesia, aku masih dalam keadaan yang belum begitu stabil. Aku bisa menangis tanpa sebab, lalu diam membisu sampai berjam-jam. Harus diakui, minggu-minggu pertama itu memang bagian tersulit untuk melupakan papa yang sudah tenang di alam sana. Dan pada satu titik, aku merasa butuh bantuan lebih dari seseorang untuk membawa aku ke dunia yang nyata ini, dunia yang sudah nggak ada papa didalamnya.

"Dit, boleh aku minta kamu tinggal disini dulu? Aku lagi nggak bisa sendirian."

Permintaan itu keluar dengan sangat lancar dari bibirku. Dan ada perasaan lega saat Adit menyutujuinya, kemudian keesokan harinya Adit sudah resmi menginap sementara di apartment sederhanaku, yang kalau diisi dua orang rasanya jadi semakin sempit. Tapi nggak apa, aku suka ketika kamar itu jadi hidup oleh bunyi ketukan di keyboard Adit, suara tembakan-tembakan dari game-nya, begitupula suara tawanya yang aku percayai bisa menyembuhkan luka sesakit apapun asalnya.

Aku nggak pernah menyukai bunyi alarm, sampai bunyi itu berubah jadi "Morgen, liebe." Dengan suara pagi-nya Adit yang berat. Detik berikutnya, kalau aku masih susah dibangunkan juga, dia bakal menyerangku dengan perang kelitik–andalannya dia memang–untuk Nabila yang kadang suka bandel nggak mau nurut sama apa kata pacarnya.

Lalu aku tertawa, sepagi itu.

"I miss your laughs so badly." Bisiknya sambil memerangkap aku dengan kedua lengan besarnya.

"I'm sorry for being sad for too long, Dit."

"Nggak apa-apa, pemulihan memang butuh waktu yang lama." Katanya. Lalu dengan sangat lembut dan dengan suara mwach! yang menyebalkan, dia mencium pipiku, beranjak berdiri dan tersenyum karena berhasil membuatku tertawa.

Sempat terpikirkan, mungkin kelak, kalau memang takdirnya aku berjodoh sama Adit, pagiku akan semanis itu setiap harinya. Bersaing siapa yang bangun lebih dulu, nanti yang telat harus menyiapkan sarapan dan we gonna do the breakfast in bed seperti pasangan romantis lain yang bisa dilihat di film-film. Atau kegiatan pagi lainnya, seperti sama-sama sibuk menyiapkan keperluan kerja dan nanti dia mengoceh minta dicarikan kaus kakinya yang hilang sebelah, dan walau sudah sebesar itu, dia masih mempercayai I'm positive there's something under the bed, liebe! Karena kaos kakinya selalu dengan misterius ada dibawah sana.

"Bi?"

Aku tersadar dari lamunanku saat Adit sudah berdiri didepanku sambil mengibas-ngibas tangannya, lengkap dengan ekspresi wajah yang bingung.

"Ya, Dit?"

"Bisa tolong bantu gulung lengan kemeja ini?"

Pagi sama Adit itu selalu menyenangkan, walaupun alasan kenapa dia bisa menghabiskan beberapa paginya di apartment-ku tidaklah demikian.

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang