#16-final

5K 504 789
                                    


Ich mochte den rest meines lebens mit Dir verbringen
I want to spend the rest of my life with you
Aditya

Percaya lah satu hal yang gue ingat saat gue berhasil membuka mata setelah sekian hari tidak sadarkan diri adalah semua kenangan manis yang pernah gue lalui bersama keluarga, teman dan Nabila. Bayangan yang muncul seperti rol film itu bergantian terputar di kepala. Dan nggak ada satupun dari itu semua yang nggak menguatkan gue untuk sepenuhnya kembali ke dunia nyata.

"Mas, saya Ian, yang membantu perawatan mas disini." Cetus seseorang tapi gue masih nggak begitu peduli. Gue berusaha pulih sendiri. Mengatupkan mata, menggerak-gerakan jari, dan diam dulu beberapa saat sebelum sepenuhnya merasa kuat untuk memberi tanggapan yang pasti.

"Saya sudah kabari mbak Nabila, dia mungkin sudah dijalan menuju kesini."

Nabila? Oh iya, dimana Nabila?

Entah marah atau sedih yang membelenggu perasaan gue saat itu. Tapi detik ketika Nabila muncul diambang pintu dengan penampilan super berantakan dan terluka, yang gue ingin lakukan adalah mendudukan dia di kursi, lalu mendiamkan dia seperti yang biasa gue perbuat saat sedang menyidang Nabila atas kelakuan super aneh yang bisa membahayakan dia dan sangat sangat membuat gue khawatir.

"Explain."

Suatu hari Nabila pernah jatuh dari sepeda sampai lututnya terluka. Apa yang membuat gue kecewa adalah dia berusaha menutupi semuanya sampai gue menemukan buktinya sendiri.

"None of this happened intentionally, Dit."

Gue mengambil kotak obat-obatan, lalu duduk dilantai, menghadap lututnya yang masih sangat merah dan terlihat menyakitkan. Nggak banyak yang gue ucapkan saat itu. Begitu pula Nabila yang semakin hilang dibalik bantal, sengaja sembunyi dari Aditya, si pacar yang bisa sangat galak kalau sesuatu terjadi ke seseorang yang disayang.

"Setidaknya kalau jatuh, berhenti dulu. Obati lukanya. Jangan dibiarin begini, nanti kalau infeksi gimana, hm?"

Nabilanya gue itu diam-diam nangis dibalik bantal yang menutupi wajahnya.

"Adit nggak selamanya bisa jagain kamu, bi. Makanya Adit perlu bantuan kamu buat jaga diri selagi Adit nggak ada disamping kamu. Segitu aja tugas Nabila, nggak susah, kok. Biar yang susah jadi tugasnya Aditya."

Kaki Nabila bergerak berbarengan dengan rintihan. Perih mungkin maksudnya tapi nggak berani bilang. Setelah selesai, gue meniup pelan lukanya supaya Nabila nggak kesakitan lagi.

"Nabila, liat Adit dulu." Gue mengambil bantal yang dia peluk dan disambut dengan wajah sedih yang super gemas. "Adit tau kamu udah gede, tapi Adit perlu memastikan. Perhatiin ini, bi. Ini Rivanol, pake buat bersihin luka. Habis itu kamu kasih obat merahnya, pelan-pelan biar nggak sakit. Setelahnya kamu biarin aja, jangan ditutup nanti lama sembuhnya. Setiap diperlukan, kamu obati lagi lukanya. Bisa dimengerti, Nabila?"

Dan gue tahu dia benar mengerti semuanya hari itu. Saat dia datang dengan luka di lengannya, dan lebam dibeberapa bagian tubuhnya.

"You got hit by a car, as a revenge I hit the car for you." Katanya dengan sangat bangga. Lalu dia kembali fokus pada obat-obatannya sendiri. "Gini ya, Dit, tap tap the rivanol," Suaranya semakin berat di ucapan berikutnya. "Bersihkan lukanya, lalu obati pakai obat merah."

Nabila nangis disela-sela kesibukan mengobati lukanya sendiri. Lantas gue tarik badannya, gue peluk dan gue cium puncak kepalanya. Gue tahu apa yang membuat dia menangis pilu, pasti Aditya Mahya lah alasannya.

nirvanaWhere stories live. Discover now