prologue, dua

5.2K 705 231
                                    

Aditya

Shit! Hari ini, sudah dipastikan, gue telat lagi.

Persetan telat U-bahn–sebutan untuk kereta bawah tanahnya Munich. Atau telat ngejar kelas pagi. Yang kali ini, telatnya lebih krusial dari itu. Ini telat jemput Nabila.

13:25, gue cuma punya waktu lima menit untuk mengayuh sepeda dari zona nyaman ke zona luar angkasa. Bro, habisnya gedung kampus si Nabila Milena ini kayak anak gajah ditendang dari kawanannya: Jauh. Gue butuh waktu minimal dua belas menit pakai jalur cepat sepeda untuk sampai kesana. Itu sudah termasuk ngos-ngosan dan semakin nggak jelas lah bentukan seorang Adit yang dari sananya udah nggak begitu ganteng ini.

Dengan kecepatan yang sangat super, gue lari keluar gedung kampus menuju tempat parkir sepeda. Haha, iya, disini gue pake sepeda. Udah nggak ada lagi lah itu motor hitam serta luka maskulin bekas jatoh sama penyok habis nyenggol sesuatu. Semuanya lenyap. Berganti jadi sepeda warna merah hasil beli setengah harga dari alumni kampus yang tinggal di gedung apartment yang gue tinggali.

Jangan salah, sepeda merah ini walau bentukannya sangat kerempeng dan seringkali rusak rantainya, tapi dia lah yang paling setia menemani gue di Munich. Bahkan di waktu-waktu yang krusial, seperti saat telat ke kampus atau tengah malam harus ke apartmennya Nabila.

Si cantiknya gue itu masih suka sakit tiba-tiba. Jadi gue–sebagai seseorang yang menyayangi dan bertanggung jawab penuh sama keselamatan dan kebahagiaan dia–harus dengan sangat sigap ke apartmentnya dan jagain dia semaleman. Kadang sampe nggak tidur. Atau kadang gue lah yang tidur dan dia yang melek sendirian.

"Kamu nggak perlu kesini, Dit, aku nggak kenapa-kenapa juga kok. Ini tengah malem loh, gimana kalo ada apa-apa di jalan?"

Malam itu yang gue lakukan adalah meraih tangannya. Membimbing dia untuk balik ke tempat tidurnya. Nyuruh dia baringan, terus gue buntel pake selimut.

"Aku nggak kepikiran itu, bi, yang aku pikirin cuma gimana kalo kamu kenapa-kenapa. Kan kamu yang sering bilang–"

"Love is selfless not selfish. Mendahalukan kebaikan dan kebahagiaan orang lain sebelum diri kita sendiri. Aku tau. Tapi nggak tengah malem bela-belain kesini juga, Adit." Sela Nabila yang setelahnya gue kecup keningnya.

"Kalo aku nggak kesini juga bukan berarti aku bisa tidur tenang di apart, bi. Justru aku bakal bisa tidur kalo ada disini sama kamu. Tidur di matras tipis juga nggak apa-apa asal bisa sambil jagain kamu mah."

Jadi, pertanyaannya, sejak kapan Adit berubah jadi lebih 'punya hati' daripada Adit yang sebelumnya? Jawabannya, dari sejak gue pindah ke Munich ini. Dari sejak gue merasa asing sama lingkungan baru dan gue menyadari satu hal kalau gue cuma punya Nabila. Dia lah satu-satunya orang yang nggak perlu pake basa-basi kalau gue lagi kesusahan dan butuh bantuan. Dia juga lah yang jadi alasan gue bisa bertahan dan bisa di ajak bekerjasama untuk sama-sama berjuang.

Romantis. Gue menilai hubungan gue dan Nabila sejak pindah ke sini itu jadi romantis. Ketika kita cuma punya satu sama lain dan kembali lagi ke Adit and Nabila against the world, remember? Disinilah kalimat itu di buktikan. Di tempat yang bukan rumah, yang jauh dan asing. Tanpa merenggangkan genggaman, kami berdua berjalan bersisian.

Crap! Keasikan nostalgia nih. Gue jadi nggak liat ada mobil melaju tepat di persimpangan jalan sini. Hasilnya, gue kepeleset. Man, adegan begini udah biasa lo liat di film-film, kan? Nah ini kejadian ke gue sekarang. Dramatis memang. Demi pujaan hati nih, gue bela-belain balik ngayuh sepeda lagi walau tangan dapat luka hasil ciuman sama aspal.

Gue udah sampe di kawasan kampusnya Nabila. Banyak mahasiswa yang membanjiri sisi jalan dan tempat-tempat di sekitarnya. Tapi gue masih belum nemuin cantiknya gue itu. Apa gue segitu telatnya jemput dia sampe dia pulang duluan, ya?

Dar!

In a very unamusing tone: Aku kaget.

"Aw." Kaget sih nggak. Perih doang karena Nabila nggak sengaja nyentuh luka jatuh tadi.

"Loh, tangannya kenapa, Dit?!" Si cantiknya gue ini bertanya dengan nada plus ekspresi khawatir seakan-akan gue sekarat padahal cuma kegores sedikit.

"Jatoh tadi di persimpangan situ." Gue menunjuk persimpangan sial tempat jatuh tadi. "Nanti kamu hati-hati ya kalo bawa sepeda. Jangan ngelamun. Apalagi ngelamunin aku. Nggak boleh. Haram hukumnya."

"Kamu kok malah ceramahin aku, Dit? Kan yang jatuh kamu."

Gue senyum sambil mengacak rambut dia.

"Itu karena aku peduli sama kamu, Nabila. Yang jatuh biar aku, kamu jangan. Aku bisa nahan sakit, tapi aku nggak bisa liat kamu sakit."

Sayangnya gue itu senyum. Lucu seperti biasa. Dan gue seperti biasa, menikmati detik dimana bibir manis itu melengkung keatas jadi sebuah senyuman. Hati gue, pemirsa, untuk kesekian kalinya, melebur kaya lilin di bakar.

"Kalo kamu nggak bisa liat aku sakit. Berarti aku juga sama, aku nggak bisa liat kamu sakit. If you are hurt, then I am hurt too, Aditya. Jangan jatuh lagi ya."

Gue menggeleng kepala. Nabilanya bingung.

"Aku jatuh tiap hari."

"Jatuh tiap hari?" Katanya.


"Iya, jatuh cinta sama kamu, bi." Nabilanya cuma senyum sambil geleng-geleng kepala.

Dan sejak siang itu, gue jadi tau, seterjal apapun jalannya, sesusah apapun rintangannya. Kalau ada Nabila dan senyumannya. Maka nikmat apalagi yang kamu dustakan, Aditya Mahya?

nirvanaWhere stories live. Discover now