#14

3.2K 469 468
                                    


I wanna see Nirvana but don't wanna die yet

Aditya

Yang gue tahu Munich lagi cerah berawan siang itu. Langitnya warna biru. Banyak burung terbang bebas diatas sana. Dan gue di bawahnya, lagi mengayuh sepeda dengan perasaan bahagia. Ada dua hal penting yang jadi alasan kebahagiaan gue siang itu. Pertama, ujian selesai. Pendidikan gue di Jerman sudah selesai, gue sudah bisa pulang, gue sudah bisa melihat langsung senyum-senyum bangga tertempel di wajah mereka yang tersayang. Papa, mama, kakak, dan teman-teman sekalian, Adit akan segera pulang. Tapi sebentar, ada alasan kedua yang harus dilakukan sebelum pulang; melamar Nabila.

Nabila, sayangku yang sabarnya nggak ada dua. Kamu pasti lagi menunggu Adit disana. Biasanya kamu duduk sambil mengayun kaki, telinga kamu disumbat earphone dan kamu asik mendengarkan lagu jadul kesukaan kamu. Adit pun suka lagu jadul, tapi Adit lebih suka mendengar lagu jadul sama kamu. Seperti yang biasanya kita lakukan di hari minggu, siang menuju sore menghabiskan waktu di taman, dengan kepala kamu beristirahat di pangkuan aku atau sebaliknya. Kamu pakai yang kiri, aku pakai yang kanan, dan kita sama-sama mendengar Norah Jones berbisik lembut lirik Love Me Tender yang sederhana, katamu.

Rencananya siang itu gue ingin melakukan semua itu lagi. Gue ingin menjemput Nabila, ingin melihat senyum dan mengecupnya juga. Setelah itu kami jalan bersama ke Englischer Garten, tempat kami biasa kencan berdua. Nanti disana, gue akan meminta Nabila duduk dan gue merebah dengan kepala di pangkuannya. Dia biasanya baca buku, gue bagian mengagumi si kutu buku. Gue bagian menutup mata, membiarkan suara air dari sungai terdekat menjadi latar dari suara lembut Nabila menggumamkan kata-kata yang sedang di baca.

Gue ingin begitu selamanya. Dan selamanya akan ada kalau gue berani meminta dia untuk jangan kemana-mana, sama Adit aja, sampai nanti tua, sampai nanti kita nggak ada.

Adit sudah belikan kalung buat kamu, bi. Bukan sogokan, sebut saja ini pemberian dari seseorang yang sudah menghabiskan tujuh tahun terakhir di hidupnya bersama kamu. Namanya Aditya Mahya, yang selalu menganggap Milena adalah nama yang bagus dan Nabila Milena adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman hidupnya.

Jadi, Nabila, apakah kamu mau?

Oh sebentar, jangan dijawab dulu. Adit belum sampai, tapi Adit pun nggak yakin kalau Adit akan sampai.

Yang gue tahu Munich lagi cerah berawan siang itu. Langitnya warna biru, dan gue bersyukur langit itulah yang gue lihat terakhir kali sebelum pandangan mata ini kabur dan menghitam. Langit itu hilang. Berganti sakit yang menyiksa kepala dan tulang. Mungkin remuk, gue nggak tahu. Yang gue tahu hanya akan ada satu orang yang menunggu dengan sabar, menunggu seseorang yang tidak akan pernah bisa datang.

Nabila Milena, ini sebuah permintaan bodoh. Tapi bisa kamu pulang sendiri? Untuk hari ini aja, tapi latihan juga untuk hari-hari berikutnya. Ada sesuatu yang menahan Adit untuk datang kali ini, jadi kamu harus mengerti.

Pesan Adit, jangan sedih dan jangan tunggu Adit lagi.

**

Gue tidak membenci, tapi juga tidak menyukai suara tangis. Dari siapa pun itu, dan atas dasar apapun. Suara tangis itu melodi paling menyedihkan yang paling enggan gue dengar. Sederhananya mungkin karena gue tidak menyukai kesedihan. Apalagi kalau gue lah alasan dibalik semua sedih dan tangis yang memilukan.

Seperti hari ini, lagi-lagi dia terisak menangis dengan pilunya.

Aku tau kamu rindu aku, tapi tolong jangan nangis begitu. Aku sudah terlampau kecewa nggak bisa menepati janjiku untuk menemui kamu, jangan menambah kekecewaanku dengan kenyataan kalau aku juga menyakiti hati kamu.

nirvanaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin