#12

2.7K 433 206
                                    

Du machst mich zu einem besseren Menschen
You make me want to be a better man

Aditya

"I'll take it! Let me cover Ilo."

"What? You've been working too much, Aditya."

"It's okay, I'll take it."

"You seriously need the money, don't you?"

-

Mari kita awali babak ini dari suatu siang, saat gue hendak pulang ke apartment Nabila, bersama bingkisan roti manis, satu cup hazelnut latte, dan satu cup hot chocolate. Klasik. Yang minuman coklat itu punya gue, si Adit yang nggak begitu suka minum kopi tapi punya stok kopi luwak di lemari apartment-nya. Untuk jaga-jaga, karena pasti ada satu waktu gue merindukan suasana ngumpul dan minum kopi sama teman-teman di Bandung, biasanya didepan toko mas Aga, sambil duduk-duduk liatin aspal basah dan daun-daun yang jatuh belum disapuin. Lalu kami berisik, biasanya ngomongin pertandingan bola, atau ada juga yang serius curhat masalah pribadinya; jadi, kieu yeuh bro, masalahna... dan kemudian kami hening, serius banget dengerin curhat yang kadang semenyedihkan urang digantung, euy.

Lalu nanti satu diantara kami ada yang tiba-tiba adzan, terus yang satunya lagi heboh wah, bahaya euy bisi maot bisi maot! Karena kami sebodoh itu menyamakan arti digantung hubungan sama digantung pembunuhan.

Kangen. Mungkin itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan kehilangan ini. Tapi sebagai yang merantau, terjangkit kangen itu konsekuensi. Sekarang udah nggak ada waktu buat menyesali, yang ada itu tinggal menyadari sesuatu memang akan lebih berharga kalau sudah nggak kita miliki lagi. Itulah sebabnya, kenapa ada kalimat cherish the moment! Karena nggak ada yang bisa menjamin nanti kita bisa merasakan itu lagi atau nggak.

Kepanjangan. Cerita mengayuh sepeda menuju apartment-nya Nabila jadi terpotong karena tiba-tiba diterjang kilas balik kenangan waktu masih di Bandung dulu. Padahal inti cerita bagian ini cuma sedikit. Cuma waktu itu gue lagi mengayuh sepeda, dibawah cuaca berawannya Munich, ditemani wangi-wangian kopi dari jajaran kafe yang gue lewati, lalu diiringi The Smashing Pumpkin sambil bergumam lily, my one and only.. kemudian gue berhenti mendadak didepan sebuah toko. Mirip aksi di film, dimana si pengendara tiba-tiba menginjak rem sampai terdengar suara mendecit tajam. Nah itulah gue saat itu, berhenti didepan toko perhiasan yang hari itu lagi memajang sebuah kalung dengan bandul super sederhana tapi cantik dan memukau.

Gue suka bagian dimana otak ini langsung menjurus ke satu nama; Nabila Milena. Si cantik yang pasti akan makin cantik kalau pake kalung tersebut dan punya gelar baru; calonnya Aditya.

Ah, pikiran tentang melamar Nabila sebenarnya sudah ada dari lama. Mereka mengendap di kepala. Kadang membajak otak ini dengan terus menerus meminta di pikirkan–walau dengan susah payah–bisa gue tahan dan lawan. Bukan nggak mau direpotkan, tapi gue lagi cari cara biar sekali tembak langsung kena sasaran. Gue ingin kelak, di waktu yang tepat, semua berjalan sesuai rencana. Tapi entah kenapa, setelah kehilangan papa, gue merasa nggak ada lagi istilah menunggu waktu yang tepat. Karena inilah saatnya. Ini waktu yang tepat untuk menepati janji ke almarhum papa, untuk menjaga dan mencintai Nabila sampai nanti tiba saatnya menua berdua.

Mungkin ini terdengar telat, karena pasti ada aja pertanyaan kemana lo waktu papa masih ada, Dit? Jawabannya ada, disini, bekerja, memaksimalkan diri sendiri untuk jadi yang terbaik buat Nabila. Dan papa tahu itu.

"Pa, mungkin ini kayak bercanda kalau diceritakan lewat telfon. Tapi Adit serius, pa, boleh Adit lamar Nabila?" Segitu beraninya si Aditya Mahya ini pada suatu sore saat papa menelfon langsung dari Indonesia. Waktu itu papa ketawa, tapi nggak apa-apa, gue tahu diri.

nirvanaWhere stories live. Discover now