Pantaskah seseorang ditolak hanya karena pakaian tak bermerk yang tentu saja terlihat sangat biasa dan dinilai tak menarik? Begitulah hal lumrah yang Son Seungwan alami selama beberapa saat belakangan ini.

Selesai mengisi perut dengan sebungkus roti serta sebotol air mineral yang belum dia minum sejak pagi, Son Seungwan memutuskan untuk menyudahi kerja kerasnya hari ini. Saatnya kembali ke rumah kecil berukuran enam kali empat meter persegi yang dia sewa di pinggiran kota.

Sebelum beranjak, dia memastikan kembali saldo yang tersedia dalam kartu transportasi umumnya. Dari Samseong-dong menuju rumah akan memerlukan dua kali transit bis umum. Jangan sampai dia berakhir dengan berjalan kaki. Bisa-bisa dia akan pingsan kehabisan tenaga di trotoar.

Son Seungwan pun beranjak dari kursi taman umum dan melangkah menuju halte terdekat. Berdiri canggung di pojokan dengan jaket berwarna khaki yang melapisi pakaian lawas namun terkesan formal dan rapi. Sesekali dia mengetuk-ngetukkan ujung sepatu dengan hak setinggi lima centimeter yang membungkus kaki indah dan tak terlalu jenjangnya. Menggumamkan sebuah tembang lawas yang sangat dia sukai saat masih duduk di masa sekolah menengah atas.


Neodo, na cheoreom ireohke apeunji
Neodo, na cheoreom nunmul na neunji
Neodo, haru jongil ireohke
Chueoke saneunji, oh kkok na cheoreom...

Aku berharap jika kau terluka seperti aku
Aku berharap jika kau menangis sepertiku
Aku berharap kau hidup sepanjang hari mengenang kenangan sepertiku...

(2AM - I Wonder If You Hurt Like Me (너도 나처럼))


Kemudian dia tersenyum saat sebuah bis dengan nomor tujuan yang ditunggu tiba. Dengan mendambakan kasur lipat yang akan memanjakan tubuh lelahnya, dia mengembuskan udara. Mencoba rileks dan tenang. Kedua matanya menatap jalan raya kota Seoul di malam hari. Kepalanya bersandar ke jendela. Meresapi kesendirian meski di dalam bis yang dia naiki diisi banyak penumpang.

Satu kali. Dua kali. Son Seungwan berganti bis menuju tempat tinggal sederhananya. Hingga bis yang dia tumpangi berhenti di halte terdekat dengan tempat tinggalnya. Gadis itu turun dan mulai berjalan kaki. Melewati beberapa gang dan berpapasan dengan salah satu tetangga, Son Seungwan balas menyapa.

"Malam, Eunji. Baru dari toserba?" tanyanya basa-basi.

"Iya, aku harus beli plester demam untuk Eunwoo. Dia pilek."

"Pilek?" gumam Seungwan dengan raut khawatir. "Kasihan... Sudah berapa lama?"

"Sejak kemarin, tapi baru demam tinggi tadi sore. Sekarang panasnya makin naik, makanya perlu beli plester demam juga. Padahal sudah diberi obat sirup penurun demam," keluh ibu satu anak itu. "Kamu baru pulang? Hari ini bagaimana? Lancar?"

Seungwan menggeleng pasrah. Sebuah senyum lemah terukir. Kakinya terus berjalan beriringan dengan Eunji yang terlihat penasaran.

"Belum. Mungkin aku harus lebih bekerja keras lagi."

Eunji tersenyum sebagai rasa bersimpati. "Semangat, Seungwan. Aku yakin kau pasti bisa mendapatkan pekerjaan. Mungkin tempat yang kau lamar belum tepat," katanya menyemangati.

Seungwan tertawa kecil. "Mungkin. Lagipula, kalau aku kerja di sana, pasti hanya bertahan sebentar saja. Aku tidak mungkin dapat tahan dengan gaya hidup para karyawannya. Dan tak terbayang kalau punya atasan yang galak seperti inteviewer tadi siang."

ANYWHEREWhere stories live. Discover now