LIMA

62 17 0
                                    

Budayakan vote dulu sebelum baca ^.^

***

"Bertahanlah, tolong bu-ka ma-ta-mu," Gumaman itu terdengar dari sebuah kamar remang-remang. Pemiliknya baru saja terlempar dari alam mimpi ke alam sadar.

Tenggorokannya tercekat, tanpa ia sadari setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Napasnya yang tersenggal perlahan mulai teratur. Sarah merebahkan kembali kepalanya di atas bantal.

Malam masih berada di pertengahan waktu, tapi Sarah tidak berniat kembali melanjutkan tidur. Ia tidak ingin menyaksikan mimpi buruk itu lagi.

Yang ingin dilakukannya sejak dulu—ketika mimpi buruk itu menghampirinya— adalah menghapus segala kenangan-kenangan di masa lalu. Namun ia tersadar, bagaimanapun cara yang dilakukannya itu tak akan pernah mampu menghapus memori yang sudah terpatri di otaknya. Karena memori itulah yang membawa luka tak kasat mata, dan lagi ia tersadar bahwa luka itu tak akan pernah hilang, selalu meninggalkan bekas.

***

Hari senin itu adalah hari yang paling tidak disukai oleh orang pada umumnya. Tak terkecuali bagi pelajar seperti Sarah. Katanya terlalu menikmati libur hingga malas untuk kembali ke rutinitas semula. Well,memang benar kata orang senin adalah monsterday, ditambah dengan mata pelajaran yang membosankan—juga sulit—dengan guru killer. Belum lagi paginya harus megikuti upacara bendera, terkadang waktu upacara dihabiskan oleh Pembina ketika memberikan amanat. Padahal yang dibicarakan itu-itu saja. Tak jarang pula siswa berdoa agar hujan turun dengan deras supaya tidak upacara.

Sarah berjalan menuju kelas dengan gontai. Peluh membanjiri pelipisnya, rambut kusut, dan yang paling parah di bawah matanya terdapat cekungan hitam. Orang menyebutnya dengan mata panda. Benar-benar mengerikkan.

Semua ini gara-gara semalam Sarah tak tidur—lebih tepatnya tidak bisa tidur—alhasil tadi pagi ia bangun kesiangan. Tak sempat sarapan, Sampai di sekolah terlambat—tak mengikuti upacara—mau bolos sekalian eh malah ketahuan Pak Ramli. Keberuntungan sedang tak berpihak kepadanya. Usai upacara bendera ia terkena hukuman. Berbaris di bawah tiang bendera, berjejer dengan anak-anak bandel, males, juga terlambat seperti dirinya. Memberikan hormat kepada Sang Merah Putih yang telah berkibar. Hukuman itu berlanjut hingga bel istirahat berbunyi. Lelah mendera merka-yang terkena hukuman. Kaki rasanya seperti mau patah, tangan kebas, tenggorokan pun dilanda kekeringan.

Hampir saja Nadin berteriak menyupah serapahi orang di sebelahnya, jika saja tak ingat itu sahabatnya. Tanpa permisi muncul dengan wajah bak hantu.

"Eh busyet muka lo kenapa tuh? Kayak zombie! Tumben banget jam segini baru dateng, gak kena tilang Pak Ramli lo?"

Gak kena tilang gimana? Baru balik badan mau kabur aja udah diteriakkin!

"Sar ini emang lo nya yang nyantai apa gak sadar kalo lo baru bolos jam nya Bu Gina? Nyari mati lo!"

Oh sial! Dia benar-benar lupa kalo jam kedua setelah upacara ada jamnya Bu Gina.

"Ada tugas?" Tanya nya dengan wajah frustasi.

"Nggak, tadi cuma ngasih materi,"

Sarah mengendikkan baunya acuh, enggan memikirkan nasibnya nanti di tangan Bu Gina. Yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah istirahata tanpa ada gangguan.

Sarah meletakkan kepalanya di atas meja-berbantalkan tas. Niatnya mau tidur. Baru semenit ia memejamkan mata terdengar teriakan orang yang amat sangat menyebalkan.

"Sar kantin yuk!"

Benar-benar sial!

***


Sarah menatap ke arah jalanan. Memandangi rintik hujan yang menari-nari di aspal. Seolah menegaskan mereka tengah dilanda kebahagiaan. Rasa dingin membuat Sarah memeluk dirinya sendiri.

"Dingin ya? " Tanya Vander sambil tangannya mampir di bahu Sarah berniat untuk merangkulnya. Namun segera ditepis oleh Sarah begitu tau itu hanya modus.

"Jangan manyun, ntar gue cium,"

Tuh kan!

Hari ini Vander mengajak Sarah menjelajahi mall dan selama itu pula ia gunakan untuk mencoba berbagai permainan yang ada di area bermain.

Mulai daru mesin pengambil boneka, basket, pump, sampai tembak-tembakan sudah semuanya Vander mainkan, Sarah sendiri sampai bosan menunggunya.

Dan ketika mengantarkan Sarah pulang, mereka sukses dibasahi oleh rintikan-rintikan air hujan. Entah kenapa hari ini Vander memilih membawa motor ketimbang mobilnya, yang sialnya tidak membawa jas hujan. Bertambah buruk mood Sarah!

"Kamu kok gak bawa mantel sih! " Gerutu Sarah.

"E ciee... Manggilnya udah aku kamu, " ucap Vander sambil menoel dengan jahil pipi Sarah.

Sarah hanya memutar bola mata malas. Aku-kamu kan memang panggilan yanh ia gunakan sedari kecil. "Tau gini tadi nggak usah ikut kamu, mending pulang naik angkot" Gerutu Sarah tak ada habisnya.

Hening.

Tak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan selain suara gemercik air. Mereka kini tengah berjongkok di depan pelataran ruko. Menunggu hujan reda. Berkali-kali decakan keluar dari bibir Sarah.

"Lo nggak suka hujan? "

"Hujan itu gak enak, kita jadi gak bisa pulang,"

"Udah jangan cemberut," Ucap Vander sambil terkekeh pelan.

Ekspresi kesal Sarah semakin membuat Vander terpesona. Imutnya bukan main!

"Menurut lo, definisi hujan itu apa? " Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Sarah.

"Defini hujan? Kalo menurut aku hujan itu bodoh, kenapa? Karna ia tetep mau kembali walaupun udah tau rasanya jatuh berkali-kali. Intinya dia tetep mau jatuh ke lubang yang sama, bego kan?! "

"Kayak lo! "

"Hah? " Sarah menatap Vander dengan pandangan tak mengerti.

"Ya sama kayak lo, bodoh."

Seketika tawanya meledak melihat wajah cengo Sarah. "Sorry, gue bercanda, " Ucapnya sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf "V".

"Kalau menurut gue, hujan itu penimbun kenangan, juga peredam kerinduan. Karna hujan bakalan bikin lo inget kali pertama kita jalan. Dan karna hujan, gue bisa lebih lama di sini sama lo."

"Cih, sok puitis, " Decak Sarah yang membuat Vander manyun.

"Padahal romantis, yah walaupun modal kuota buat searching sih, "

Speechles! 

***

To be continue...

Rinai Luka Where stories live. Discover now