28. Pilih Mana?

2.5K 140 0
                                    

Haruskah aku memilih? Disaat yang dipilih pernah memilih orang lain, haruskah aku merindu disaat yang dirindu tak pernah ada kerinduan?

***
Derap langkah panjang seseorang disebelahku menginterupsikan kakiku untuk mengikutinya, bahkan dari tempat itu sampai dengan tempat ini tidak ada suara apapun. Aku hanya bisa mengekor dibelakang sampai orang itu berhenti dan aku menabrak punggunya.

Aroma vanilla menyengat menusuk indera penciumanku, padahal jam siang seperti harusnya bau keringat yang keluar bukan aroma vanilla. Apa spesies beku seperti Langit ini mengeluarkan aroma vanilla pada saat siang hari? Aku rasa setiap hari pria ini beraroma vanilla.

"Bisa pergi dari punggung gue?"

Cepat-cepat aku menarik tubuhku menjauh dari punggungnya, sungguh memalukan. Mataku menatap kebawah tidak berniat untuk menatap Langit.

Rintik hujan perlahan mulai sedikit deras, sekolah telah sepi beberapa menit yang lalu. Hanya tersisa anak-anak ekskul yang hari terjadwal.

"Gara-gara lo gue jadi dihukum sama guru BK!"

Hah? Karena aku, dia bilang karena aku? Bukankah dia sendiri yang mencoba untuk memelukku, jadi kenapa jadi menyalahkan aku?

Bibirku terbuka, namun beberapa saat aku mengatupkannya kembali, tiba-tiba aku teringat perkataan Athala 'yang penting usaha, hasilnya belakangan.' lalu logikaku menyahut 'semisal karena hukuman aku bisa bersama sama dengan Langit, jadi apa harus setiap hari cari ulah dengan Langit agar bisa dihukum?'

Sedangkan otakku didalam sana berargumen lain. 'Cari ulah setiap hari sama dengan cari mati dengan Angga, bisa-bisa Angga tidak memperbolehkan aku bertemu Langit'

Sibuk bertengkar dengan logika dan otakku, orang yang sedang dibahas telah pergi. Langkahnya sudah hampir menjauh, aku berlari untuk menyamakan langkahku dengannya.

"Langit"

Aku menghentikannya, berhasil. Dia berhenti dan menoleh kepadaku, tapi sialnya mendadak aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. 'Berfikir kristis Anggita, ayo berfikir kritis.

"Ehm, mau main hujan-hujanan?"

Hening setelahnya, Langit tidak berniat untuk menjawab kemudian pergi meninggalkan ku begitu saja, tidak kehabisan akal aku mencoba untuk menarik hatinya agar mau bermain hujan.

"Lang, ayolah sekalian gue bantu lo buat hilangin phobia lo. Nggak semua hujan ada kilat sama gunturnya kok"

"Gue benci hujan" jawabnya ringan sambil terus berjalan. Rintikan air mengenai kulitku begitu angin menerpa.

"Ayolah, lo belum pernah main hujan kan. Nggak bakalan nyesel"

Langit berbelok ke arah parkiran, itu tandanya dia akan segera menaiki motornya dan beranjak pulang. Tidak, artinya kesempatan mengajak langit bermain hujan hampir tidak bisa.

Aku menghadang Langit, merentangkan kedua tanganku. "Kalo gue traktir lo makan es krim dikedai yang tutup waktu itu lo mau?"

Langit berdecak, setelahnya menggeleng dan pergi. Lagi-lagi aku berusaha mengulur waktu agar Langit tidak sampai ditempat motornya dengan cepat. Aku berjalan mundur didepan Langit sambil menawar-nawarkan sesuatu agar Langit mau mengikuti permintaanku.

"Kalo makan di kafe Lavender mau ya?"

'Anggita sarap, kan bokapnya Langit pemilik kafe Lavender (emot boring)

"Eh lupa, hehe. Kalo gitu gue traktir makan dikantin..." (Langit berjalan terus)

"Dua hari..." (Masih terus berjalan)

Elang [PROSES PENERBITAN]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz