23. I'am A Princess?

2.8K 159 0
                                    

Aku telah menghapus memori tentang Elang diotakku, yang tersisa tinggal satu, tentang semburat oranye dihorizon bersama Langit yang merasuk ke dalam hidupku.

***
Langit POV

Kaca ruangan itu dingin, menjalar menuju syaraf paling ujung membuat sensasi mencekam, kalut dan menusuk nusuk bagian hati. Dari arah berlawanan juga seorang wanita paruh baya berlari, berhenti tepat didepan kaca bening didepanku.

Dia menangis, menumpahkan air matanya menatap putrinya sedang berada didalam ruangan itu. Keadaan kacau, Angga duduk lemas dengan air mata yang sama banyaknya, ibunya Angga datang menenangkan bersama dengan Bunda yang memeluk dan menyalurkan kehangatannya.

Keadaanku tidak jauh dengan mereka, namun aku tidak ingin memperlihatkan bagaimana rasa sakitnya, cukup memendam dalam diam.

"Jangan tinggalkan Mama, sayang. Maafin Mama"

"Sabar, semuanya akan baik-baik saja"

Percakapan itu yang aku dengar disela isakan tangis seorang ibu yang takut kehilangan anaknya. Pintu ruangan itu terbuka, dokter keluar dari ruangan. Membawa entah kabar apa, dilihat dari wajahnya sepertinya ini mengundang petaka. Semuanya berdiri mengerubungi dokter seakan dokter ada tersangka utama.

"Dokter gimana keadaan anak saya?"

Dokter itu menghela napas berat, aku tidak yakin mampu mendengarnya. Jantungku berpacu cepat sebelum dokter itu membuka pembicaraan.

"Kondisinya memburuk, kami pihak medis akan berupaya sebisa mungkin untuk menolong putri ibu.."

Belum sempat dokter menyelesaikan perkataannya, tangis ibu Anggi kembali pecah, Angga terlihat frustasi mengacak-acak rambutnya. Bunda juga ikut menangis, membekap bibirnya seakan tidak percaya dengan perkataan dokter barusan.

"Dokter, apa saya boleh melihat pasien?"

Dari sekian banyak kalimat, yang ingin ku ucapkan saat ini hanya itu. Aku benar-benar ingin melihat gadis itu dan memakinya habis habisan.

"Silakan, tapi hanya satu orang dan hanya sepuluh menit"

Aku mengangguk, harusnya aku tidak lancang mengambil kesempatan ini tapi aku benar-benar benci dengan keadaan diluar, aku hanya ingin dia bangun dan kembali seperti dulu lagi. Aku benci tangisan apalagi tangis seorang ibu.

Gadis itu masih tidur dengan selang infus dan oksigen, wajahnya memucat. Bibirku terasa kelu melihat kondisinya, seperti ingin tertarik dengan susana. Turut berempati dengan kenyataan.

"Gue minta lo bangun, Nggi! Gue benci lo yang kaya gini. Buktiin kalo lo gadis yang kuat, bukannya selama ini lo kuat ngadepin semuanya, kalo beneran kuat buktiin! Lo harus bangun sekarang"

Emosiku mulai terpancing dengan tidak adanya respon dari Anggi, dia tetap memejamkan matanya, mungkin dia juga sedang bertaruh untuk nyawanya. Dia sedang berjuang melawan masa sulit ini. Harusnya aku mendorongnya, memberikan semangat, bukan malah memakinya. Tapi aku tidak bisa melakukannya.

Ini Langit, bukan cowok cowok romantis ala drama-drama difilm yang sering mencuri hati penontonnya. Kemarin saja hampir aku mempermalukan diri dengan membawa sebuah kue tepat ditengah malam, dan mengetuk pintu balkon kamar seorang gadis.

Itu bukan ide gilaku, tapi Bunda. Bunda tau tentang perasaan ini, dan Bunda ingin aku menunjukannya pada Anggi. Harusnya aku tidak mengiyakan rencana Bunda, karena itu aku hampir kehilangan citra 'cool ku menjadi seorang Langit Elang.

Tatapan ku menuju gadis itu, apa dia bisa mendengarku? Jika tidak percuma saja aku berteriak memakinya agar ia mau bangun.

"Nggi, lo mimpiin apasih disana?! Sampai lo betah dan nggak mau bangun kaya gini. Bangun Nggi! Gue minta lo buat bangun!"

Elang [PROSES PENERBITAN]Where stories live. Discover now