Delapan Belas

2.9K 162 2
                                    

Aku ada di pelukan mama. Setelah melihatku menangis begitu masuk ke dalam rumah, mama membawaku ke dalam kamarku dan aku semakin terisak di sana. Wajah Genta yang dipenuhi amarah terus berbayang di mataku, ditambah rasa bersalahku, semua terasa sangat menyesakan.

Mama tidak bertanya apapun. Beliau hanya mengajakku naik ke lantai dua dan masuk ke kamarku, lalu membiarkanku memeluknya sembari menuntaskan tangisanku. Hanya tangan mama yang terus bergerak menepuk-nepuk punggungku.

"Kamu boleh nangis selama apapun di pelukan Mama," akhirnya mama mengeluarkan suara dan mendengarnya membuatku mempererat pelukanku.

Mama terus menepuk pundakku, persis seperti yang selalu beliau lakukan ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Setelah hampir setengah jam berada di pelukan mama dan menangis di sana, aku mengangkat kepalaku. Memandang mama yang langsung tersenyum kepadaku.

"Terima kasih, Ma," kataku.

Mama menganggukan kepala dan menggenggam erat tanganku. "Tidak ada cinta yang salah. Kadang hanya keadaan yang membuat cinta tampak salah," kata mama.

Aku memandang mama dengan tersenyum tipis. "Aku sayang sama dia, Ma," ucapku pelan.

"Genta?" tanya Mama.

Aku menganggukan kepala. "Dia anak panti asuhan yang pernah aku datangi, Ma. Dia baik, jika dia kelihatan dingin dan kasar, itu hanya topeng sifat dia yang sebenarnya," ceritaku. "Ya, meski aku nggak pernah membenarkan kebencian tanpa alasan ke Mas Reza, tapi aku yakin dia punya alasan yang kuat untuk itu."

Mama mendesah cukup panjang dan kembali menarikku ke dalam pelukannya. "Anak gadis Mama ternyata sudah jatuh cinta," kata mama. "Kita nggak bisa menyalahkan pada siapa kita jatuh cinta, tapi kadang cinta itu hanya sementara. Kadang cinta bisa sangat menggebu-gebu tapi bisa berakhir dengan tidak berarti apa-apa. Mama yakin kamu mempertimbangkan perasaan Mas Reza di atas perasaanmu sendiri, sampai kamu sesedih ini. Terima kasih, Sayang," tambah mama yang membuat pertahananku untuk tidak menangis lagi runtuh. Air mata kembali mengalir dari pelupuh mataku.

"Mama jangan bilang ke Mas Reza ya!" pintaku.

"Iya. Tapi kamu harus mengatakan yang sebenarnya jika semua sudah membaik ya."

Aku menyetujuinya. Aku ingin melepaskan pelukan mama, tapi mama menahanku. Mama terus menepuk-nepuk punggungku dan membuat kenyamanan yang luar biasa di sana, sampai aku mulai memejamkan mata. Aku tertidur di pelukan mama dengan sangat lelap. Sampai rasanya semua beban yang ada di hatiku terangkat, meski hanya untuk sementara.

***

Aku berangkat ke sekolah bersama Mas Reza dan Mas Virza. Setelah istirahat selama dua hari, Mas Reza hari ini berangkat untuk pertama kalinya setelah kejadian siang hari itu. Kami tidak banyak bicara, bahkan sejak kejadian itu. Mas Reza tidak berselera untuk bicara denganku dan aku menghindarinya.

Kami melalui perjalanan ini dengan sangat canggung. Begitu sampai aku juga langsung turun dan berpamitan sebentar pada Mas Reza dan Mas Virza, meski hanya Mas Virza yang membalasnya.

"Nanti kamu harus pulang bareng kami," akhirnya Mas Reza bersuara.

Aku menoleh dan menganggukan kepala. Kemudian aku berjalan meninggalkan tempat parkir menuju kelasku. Begitu masuk kelas aku langsung duduk di bangkuku dan meletakan tas di atas meja.

"Bang Reza udah berangkat sekolah lagi ya, Nim?" tanya Rara yang mulutnya juga sedang mengunyah apel.

Aku menganggukan kepala. "Tadi berangkat sama gue."

"Katanya skors Bang Genta dipotong cuma dua hari karena minggu depan udah mulai UAS," ucap Bila. Aku langsung menoleh ke arah Bila dan memandangnya penuh rasa penasaran. "Jadi hari ini dia udah berangkat sekolah lagi," tambahnya.

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now