Tiga Belas

3.2K 176 5
                                    

Acara malam itu harusnya sangat menyenangkan. Namun sayang, aku masih sibuk dengan gemelut perasaanku sendiri. Memikirkan apa yang telah dikatakan oleh Kak Tia. Jadi ketika acara api unggun baru dimulai setengah jam, aku memilih turun dekat air terjun yang hanya perlu turun dari tempat perkemahan. Aku perlu menenangkan diri dan dengan suara gemercik air yang terjatuh dari ketinggian hampir sepuluh meter itu, aku yakin aku bisa mewujudkannya.

Apalagi malam itu bulan tengah purnama, sehingga aku tidak butuh cahaya penerang lainnya.

Aku duduk di atas batu besar dan memandangi air terjun yang terjun bebas ke bawah. Bahkan aku bisa merasakan percikan air yang mengenai tubuhku.

"Nggak takut di sini sendirian?"

Aku memutar kepalaku dan melihat Genta sudah ada tepat di belakangku. Aku mendesah berat, aku ingin menenangkan diri darinya tapi kenapa dia malah ada di sini?

Dia duduk di sampingku dan memandang ke arah yang sama denganku. Air terjun.

"Selain hujan, gue juga suka air terjun. Suaranya sangat mirip dengan suara hujan yang jatuh mengenai atap rumah, malah lebih keras dan ramai."

Aku memandangnya yang ada tepat di sebelahku. "Kok kamu tahu aku ada di sini?"

"Tadi nggak sengaja liat lo pergi ke arah sini."

Aku kembali mendesah. Air sungai yang bening di bawah kami berhasil memantulkan cahaya rembulan yang tepat ada di atasnya.

"Di hidup ini, gue punya banyak sekali pertanyaan," ucapnya. "Tapi lo tahu nggak, lo udah menjawab sebagian pertanyaan gue."

Aku menahan napas mendengarnya. Jangan lanjutkan, Ta! Otakku meneriaki itu, namun dengan lembut hati berkata bahwa aku ingin mendengarnya.

"Dulu gue punya temen yang sangat deket sama gue. Gue mengenal dia di tempat les dan gue belum pernah punya teman sebaik dia. Bahkan gue juga menemukan sosok kakak dalam diri dia. Meski kami nggak satu sekolah, kami selalu punya cara untuk main bareng dan saat itu gue selalu bilang ke diri gue kalo gue nggak akan melepaskan teman seperti dia," Genta memulai ceritanya. Aku memandangnya. "Sampai akhirnya dia tahu kasus ayah gue dan menjauhi gue, padahal saat itu gue pengen cerita kalo ayah gue dijebak dan berharap dia bisa mengurangi kesedihan gue. Tapi gue harus mengubur semua harapan gue itu saat dia mengatakan dia nggak mau berteman dengan anak koruptor dan mendorong gue sampai jatuh."

Aku tertegun mendengar suaranya mulai serak dan kulihat mata Genta sudah berair. Aku membulatkan mata, Genta menangis?

"Sejak itu gue nggak mau membuka hati gue untuk segala jenis pertemanan, gue nggak mau kejadian di masa kecil gue itu terulang kembali," lanjutnya, kali ini dengan terisak.

Aku tidak percaya akan melihat seorang Genta menangis seperti ini. Dia menyeka air matanya dan menarik napas dengan dalam. "Tapi ternyata gue salah, seharusnya gue nggak pernah mengharapkan balasan yang sama atas apa yang udah gue lakukan ke orang lain. Seharusnya gue hanya perlu menyayangi seorang teman dengan tulus tanpa memikirkan apakah mereka tulus atau tidak. Sama seperti yang lo lakuin. Sama seperti yang pernah lo katakan ke gue."

Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dalam darahku.

"Lo banyak memperkenalkan hal baru kepada gue, salah satunya perasaan ini," katanya dengan menatap lekat mataku. "Perasaan yang belum pernah sekalipun singgah di hati gue, perasaan yang terasa sangat asing, lo membuat perasaan itu hadir dalam setiap senyuman lo. Dalam setiap gelak tawa lo dan gue baru tahu dua hari yang lalu bahwa itu adalah perasaan yang bernama cinta."

Tenggorokanku terasa tercekat dan suara gemercik air terjun seketika hilang. Digantikan oleh degub jantung yang semakin lama semakin kencang.

Genta memandangku dengan tersenyum. Senyum terindah yang sebelumnya belum pernah kulihat. "Gue cinta sama lo, Nim," ucapnya dengan setengah berbisik.

Aku menggigit bibirku. Aku memandangnya dengan mata membulat. Genta juga memandangku atau lebih tepatnya dia menatapku. Dari sorot matanya aku tahu dia tidak sedang bercanda. Terlebih saat dia perlahan melemparkan senyumannya ke arahku, "gue cinta sama lo Nimas dan gue yakin dengan perasaan gue," tambahnya.

Aku menarik napas pelan-pelan. Pengakuan cinta Genta benar-benar berhasil membuat oksigen di sekitarku menyusut dan aku mendadak jadi sesak napas. Dia masih menatapku. Dalam. Penuh kasih sayang. "Gue nggak meminta jawaban seperti cowok-cowok lainnya saat mengungkapkan perasaannya. Bagi gue lo udah memperkenalkan perasaan ini ke gue, itu udah cukup. Terima kasih, Nim."

Aku menundukan wajah. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Sejatinya pengakuan perasaan Genta membawakan sepercik kebahagiaan di dalam hatiku, tapi pada saat yang bersamaan, ada perasaan khawatir yang ikut menyusup ke dalamnya. Bagaimana dengan Mas Reza? Apakah dia akan baik-baik saja jika aku menyukai Genta dan Genta juga menyukaiku? Bagaimana jika aku menjadi pengkhianat Mas Reza karena hal ini?

Aku tengggelam dalam pikiranku sendiri cukup lama, sampai aku tidak sadar Genta sudah beranjak dari duduknya, "gue ke tenda duluan ya!" dia pamit.

Setelah itu kudengar suara langkah kaki yang semakin menjauh dari tempatku duduk. Setelah dia pergi, aku hanya mengarahkan pandanganku ke air sungai yang mengalir dan berharap dia bisa memberiku sebuah solusi. Aku memejamkan mata dan aku bisa melihat wajah Mas Reza yang tersenyum, kemudian digantikan oleh wajah Genta yang juga tersenyum. Mereka berdua memiliki senyum yang samaindahnya dan akan sangat berat untukku memilih salah satunya.

 Mereka berdua memiliki senyum yang samaindahnya dan akan sangat berat untukku memilih salah satunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kira-kira seperti ini tempat perkemahannya. Kira-kira gimana ya kelanjutan kisah Genta dan Nimas?

Ketika Hujan Menyatakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang