"Dengerin apa sih?" tanya Mas Reza yang tahu-tahu sudah duduk di sampingku.

Aku melepas earphone. "Kapan lo ke sini, Mas?"

"Dari dua menit yang lalu, tapi kayaknya lo lagi asyik banget dengerin lagu."

Aku tersenyum.

"Gimana sama eskul musik lo?"

"Baik-baik aja, kemarin gue diminta menjadi anggota band untuk anak kelas sepuluh tapi gue nggak mau."

"Kenapa?"

"Ya kan cita-cita gue bukan pengen jadi musisi, Mas. Gue pengennya jadi guru musik."

"Oh, jadi karena alasan itu," sahutnya. "Kalo Yogas sama lo baik nggak?"

"Baik."

"Kayaknya dia ada rasa sama lo deh," ujar Mas Reza.

Aku langsung menoleh. "Nggaklah, sok tau lo Mas!"

Mas Reza berdecak. "Ngeyel lo, dia itu bilang ke gue kalo dia pengen jaga lo tapi kayaknya lo agak jutek sama dia," timpalnya. "Kalo sama dia gue ikhlas kok, Nim. Yogas itu orangnya baik dan menurut gue dia tipe cowok yang bertanggung jawab," tambahnya.

"Kok lo malah terkesan menjodohkan gitu, sih?"

"Ya dari pada elo sama cowok-cowok yang nggak bener, mendingan sama temen gue sendiri yang gue tahu tabiat dia."

Aku melipat tangan di depan dada, membuang pandangan ke kaca bus dengan malas. "Udahlah, jangan bahas itu lagi!" sahutku. Aku memandang jalan yang dilewati bus dan tampak pepohonan yang cukup rindang. Tiba-tiba aku teringat nama itu kembali, hingga membuatku kembali memandang Mas Reza. "Ada yang nggak ikut acara ini nggak, Mas?"

"Ikut semua, termasuk Genta," jawabnya dengan memperjelas nama Genta.

Aku melihat ke bangku yang berseberangan dengan bangkuku, siapa tahu Genta ada di bangku itu. Namun siswa yang duduk di sana ternyata bukan Genta. Kira-kira dimana dia duduk?

"Genta ada di bangku paling belakang. Sendirian," ucap Mas Reza yang membuatku membulatkan mata. Jangan bilang dia bisa membaca pikiranku. "Maka dari itu gue ajak lo, karena kalo nggak sama elo pasti gue bakal duduk sama dia."

Ha? Jadi ini alasan utama Mas Reza mengajakku?

"Kenapa sih kalian kayak musuhan gitu?" tanyaku. Kali ini tanpa perlu dengan hati-hati karena Mas Reza tidak akan marah dengan pertanyaan itu.

"Tanya aja sama Genta!" jawab Mas Reza yang sama sekali tidak memuaskan. Andai saja dia tahu apa jawaban Genta atas pertanyaan itu.

Yang pasti aku tidak akan pernah menanyakannya lagi.

***

"Nim, bangun! Kita udah sampai!"

Aku mengerjapkan mataku begitu mendengar suara Mas Reza yang juga dengan menyentuh pundakku. Aku merapikan jilbab yang kukenakan karena menceng gara-gara tidur. Setelah rapi, aku mengikuti Mas Reza turun dari bus dengan membawa tas ranselku.

Aku mengucek mata berulang kali sambil terus jalan, jangan minta aku untuk fokus jika baru saja bangun tidur. Tidak akan bisa. Akibatnya aku hampir menabrak seseorang kalau saja dia tidak menghindar. Dengan santainya aku tetap jalan setelah hampir menabrak orang itu, tapi kemudian dia memanggilku.

"Nimas!"

Aku membuka mataku karena suaranya sangat familiar. Mataku terbuka lebar setelah menyadari bahwa itu suara Genta dan aku langsung memutar badanku memandang ke belakang.

"Kok lo ikut?" tanyanya.

Aku menaikan alis. Butuh beberapa detik bahkan satu menit untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama karena aku belum fokus dan kedua karena yang melontarkan pertanyaan itu Genta. "Mas Reza yang ngajak aku."

Ketika Hujan Menyatakan CintaWhere stories live. Discover now