03. KETUA EKSKUL

141 20 192
                                    

Fenny tidak ingin mengawali kisah di Bandung dengan kesedihan. Walau kemarin dia mendapat sesuatu yang membuka luka lamanya, tetapi dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Fenny akan mulai melangkah, meninggalkan masa lalunya yang sedikit menyisakan sesak di dada. Maka pagi itu, saat matahari datang menyingsing menyinari bumi. Dia berjalan di koridor sekolah dengan wajah berseri-seri, seakan tak ada suatu hal yang mengganggunya.

Fenny senang memiliki teman baru yang sifatnya unik semua. Ada Lilis yang lembut, tetapi suka sewot. Wawan yang noraknya minta ampun. Ujang yang sok seram dan kuat. Juga Firza, cowok yang dia tahu seorang pendiam. Namun, meski begitu gadis itu bisa merasakan sikap mereka semua yang ramah.

Ketika melewati UKS. Tiba-tiba ada tangan jail yang menarik bajunya, sampai membuatnya terseret ke dalam UKS. Di dalam, Fenny mendapati empat orang yang kelihatannya senior kelas tiga, sedang menatapnya buas. Dia jelas kaget, dosa apa yang telah dilakukannya sampai dihadapkan pada situasi seperti ini.

"Lo murid pindahan itu?" tanya Brin seraya menatap Fenny lekat.

Fenny mengangguk pelan. "I-iya, Kak. Kenapa, ya?"

Brin melangkah ke depan Fenny, lalu menyimpan kedua tangannya pada bahu gadis itu serta menatap serius. "Lo mau nggak kalo ..." Brin menggantung kalimatnya seraya menatap rekan-rekannya yang berada di belakang.

"Kalo," ulang Sadam.

"Kamu." Diva menimpali.

"Mau nggak kalo elo." Caca malah mengulang dari awal.

Fenny jelas kesal, merasa dipermainkan. Dia menyibakkan tangan Brin kasar dan berjalan cepat keluar UKS. Namun, Brin juga cekatan langsung menyusulnya, cewek itu memegang tangan Fenny erat.

"Aduh, Fen, maaf tadi kami cuman bercanda."

"Yaudah, jadi apa? Gue lagi buru-buru nih."

"Sebelumnya kenalin. Nama gue Brin Febillyan. Keren, kan, namanya? Ketua ekskul PMR ini." Brin memperkenalkan diri seraya menjabat tangan Fenny. "Gini lho, gue mau ngajak lo gabung PMR. Lo belum punya ekskul, 'kan?"

Gabung PMR? Fenny memandang heran. Brin malah cengengesan. Fenny sangat anti terhadap sesuatu berbau medis, dia kalau sakit saja tidak pernah minum obat. Belum lagi, Fenny trauma pada bau betadine. Gimana mau jadi anak PMR?

"Maaf, gue udah ada rencana gabung pramuka." Fenny menolak halus.

"Tapi baru rencana, kan? Batalin aja deh, di sana anak-anaknya pada rese," tuding Brin mengintimidasi. "Mending gabung PMR aja, lebih seru."

"Dih kok maksa?"

"Bukan maksa, tapi ngajak," Brin masih bersikeras mengajak Fenny bergabung.

Fenny mendengkus, dia sudah bisa menebak dengan empat orang anggota PMR itu nggak ada yang beres semua. Gadis itu berlalu tanpa menoleh pada Brin sedikit pun, tak peduli meski cewek itu masih berusaha merayunya untuk bergabung.

"Fen. Di sini kami tidak hanya menyembuhkan orang sakit, tapi juga menyembuhkan hati yang terluka!" teriak Brin lantang.

Fenny menghentikan langkah. Maksudnya apa coba? Menyembuhkan hati yang terluka? Apa ada obat untuk luka seperti itu? Mungkin jika ada, bukan obat seperti yang kebanyakan orang tahu.

"Karena kami tahu, luka dalam hati jauh lebih sakit dari luka fisik." Brin masih berkata-kata.

Mendengar perkataan Brin yang semakin ngelantur, Fenny kembali melangkah. Hanya dengan melihatnya saja juga sudah jelas, kalau Brin itu orang nggak waras. Fenny tak lagi menghiraukan perkataan Brin.

"Kami tunggu kamu di sini, Fen. Jangan buat kami menunggu terlalu lama, itu sama saja menambah luka yang harus kami obati."

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 14, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kisah FennyWhere stories live. Discover now