12

1.6K 280 17
                                    

Empat hari Aki dirawat, akhirnya diizinkan pulang juga ke rumah. Alya ada setiap hari untuk membantuku. Meskipun pertanyaanku beberapa hari lalu belum dijawabnya. Dia bilang pikir-pikir dulu.

Aku setuju. Kita belum saling mengenal dengan benar satu sama lain. Jadi sekarang kami berteman, tapi entahlah statusnya apa.

Alya jadi perawat Aki dengan suka rela. Dia ikut mengantar Aki pulang ke rumah. Untuk pertama kalinya Alya ke rumahku. Rumah ini tak terlalu besar. Hanya tamannya saja yang lumayan luas.

Aku cuti kerja dulu sehari. Bukan karena tidak ada yang mengantar Aki pulang, tapi yaa tahu sendirilah.

Alya membantu Aki jalan. Aku memantau dari belakang.

"Dimana kamarnya Aki?" tanya Alya.

"Yang ini, Neng. Kamar Aki mah gak jauh. Kalau kamar Uni di atas."

Aki menunjuk ke atas dimana letak kamarku berada. Bisa terlihat kalau Alya hampir batuk karena apa yang Aki bilang. Siapa juga yang tanya kamarku dimana.

"Aki istirahat aja ya sekarang. Nanti siang, Aki mau makan apa?"

Alya menuntun Aki menuju kamarnya. Aku duduk dulu di sofa ruang tamu. Merasa lelah tapi entah karena apa. Tak lama, Alya keluar dari kamar Aki. Matanya tak berhenti untuk melihat sekitar. Sepertinya ia takjub dengan rumah ini.

"Eni, duduk sini."

Aku menepuk tempat di sebelahku. Tapi dia malah duduk di sebrangku.

"Rumahnya enakeun (nyaman). Lantainya kayu gitu. Kaya di Mesjid Salman. Banyak jendela kacanya juga. Jadi bisa ngelihat keluar. Tamannya juga luas. Rumah impian banget," ujarnya begitu ia duduk. "Kamu tinggal bertiga aja di sini?"

"Berempat sih. Mang Sapri sama istrinya. Istrinya masak sama beberes rumah di sini. Mang Sapri yang nungguin Aki sama bersih-bersih halaman."

"Ooh gitu. Orang tua kamu?"

"Mereka sibuk ngurusin kerjaan. Jadi tinggalnya gak di sini. Mereka sering keluar negeri."

Alya mengangguk. Tangannya tak berhenti ia mainkan. Gugup? Mungkin. Ya tentu saja.

"Kamu udah makan belum? Tadi kan berangkatnya pagi banget dari rumah. Kita makan di luar aja."

Alya berangkat dari rumahnya jam setengah enam pagi demi mengantar Aki pulang. Aki pulang dari rumah sakit jam sembilan. Sampai di rumah jam sepuluh. Pasti dia belum makan.

"Aku udah makan kok."

"Kamu kurus gitu. Pasti makannya dikit."

Alya tersenyum kikuk. Ia menggaruk pipinya.

"Mau makan sebanyak apapun, aku tetep kurus. Hehehe. Pengen sih naikin berat badan. Segini malah udah lumayan. Gak kaya dulu. Kurus banget. Faktor aku tinggi kali ya."

Menyinggung tinggi, aku jadi merasa tersindir.

"Aku naikin berat badan, supaya kalo hamil pas, gak kurang." lanjutnya.

"Emangnya kenapa kalau hamil berat badannya rendah?" Kenapa juga aku jadi penasaran begini. Ya, biarlah.

"Minimal untuk hamil, perempuan berat badannya harus 45kg. Selain ngaruh ke berat badan bayinya nanti, dari berat badan sama tinggi bisa kelihatan status gizi ibu, kurang atau enggak. Berat badan yang rendah juga bisa jadi patokan tanda-tanda suatu penyakit."

Aku hanya berOh ria saja. Tak terlalu mengerti bahasan seperti ini. Sepertinya aku harus banyak bertanya pada temanku.

"Hhhmmm. Ikut aku!! Jangan banyak protes!!"

[Re] If I Have a Husband ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang