05: Flashback (2)

Start from the beginning
                                    

Dua kali lagu-lagu di album Takin' Off terulang sebelum Laura mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Laura beranjak dari sofa dan berjalan menuju toilet. Dia masuk ke dalam kamar dan melongok sekilas pada Aimee yang berbaring di ranjangnya.

"Ci Laura,"

Suara Aimee yang memanggilnya memecahkan keheningan dan membuat Laura nyaris terlonjak karena kaget. "Kenapa, Aimee?" tanya Laura. "Ada sesuatu?"

Aimee menolehkan kepalanya hingga wajahnya dan Laura saling bertatapan. "Aku ... aku suka bertanya-tanya, apakah Cici benci padaku?"

Deg! Jantung Laura seolah berhenti sesaat. "Tidak. Tidurlah, sudah malam," balas Laura pelan.

"Lantas kenapa Cici selalu bersikap dingin padaku?"

Laura menelan ludah. Pertanyaan yang dilontarkan Aimee membuatnya merasa tidak nyaman, terutama di saat dia sudah lelah dan ingin beristirahat.

"Tidak. Itu hanya perasaanmu saja," ucap Laura tegas. "Sudah, kamu tidur saja sekarang. Aku juga sudah lelah."

Laura bergegas meninggalkan Aimee sebelum Aimee kembali berbicara dan menahan langkahnya. Laura menghempaskan diri ke atas sofa dan melepas kacamatanya.

Dia berbaring terlentang dan menaruh kedua tangannya di atas perutnya lalu memejamkan mata. Namun, seberapa pun dia berusaha larut dalam mimpi tetap saja dia terjaga lantaran kata-kata Aimee yang terngiang-ngiang di kepalanya.

Mengapa Aimee bicara seperti itu? Apa yang didengarnya dari orang-orang dan apa yang dikatakan orang-orang padanya?

Apa yang diucapkan Tante Rena pada Aimee? Apa yang dengan atau tanpa sengaja Aimee ketahui tentang dirinya?

Sejauh mana?

Laura menelan ludah. Dia sungguh merasa bodoh saat keringat dingin membasahi tubuhnya dalam sekejap.

Laura hendak kembali ke kamarnya dan mengambil pakaian ganti ketika dia mendengar suara isak tangis di ambang pintu.

Jantung Laura seolah mencelus saat dia mendapati bahu Aimee bergetar dan tangannya terangkat menyeka matanya.

Seharusnya Laura menghampiri Aimee dan bertanya mengapa dia menangis, tapi Laura malah diam-diam melangkah mundur.

Dia takut Aimee akan mengungkapkan alasan yang tak ingin didengarnya. Laura takut jika kekhawatirannya selama ini menjadi nyata. Laura tidak siap mendengarnya.

Sampai kapan pun Laura tak ingin mendengarnya terucap dari mulut Aimee.

Laura pergi ke dapur dan menenggak beberapa teguk air putih sebelum kembali ke sofa dan berbaring. Dia melepas kacamatanya dan meletakkan satu tangan di atas keningnya.

Dada Laura mendadak terasa sesak. Berkali-kali dia menghela nafas berat. Tidak, tidak mungkin Aimee tahu. Darimana Aimee bisa tahu rahasia yang tersegel rapi selama dua puluh satu tahun?

Laura menelan ludah, menarik nafas dalam-dalam dan menegaskan dirinya: Aimee tidak mungkin tahu.

Keesokan paginya Laura bangun ketika merasa tubuhnya diguncang pelan. Aimee berdiri di sebelahnya, sudah berpakaian lengkap dan siap untuk pergi.

"Ci," panggil Aimee.

Perlahan Laura bangun sambil mengusap matanya.

"Ci, aku pergi dulu ya."

"Kamu mau kemana?" tanya Laura.

"Aku mau pulang ke kosan. Aku merasa sudah jauh lebih baik."

"Kamu tidak akan ke kantor hari ini kan?"

Aimee menggeleng. "Aku akan istirahat di kosan."

"Biar aku antar," Laura meraih dan mengenakan kacamatanya.

"Tidak usah. Aku naik kendaraan umum saja. Kosanku tidak jauh dari sini. Lagipula aku sudah tidak apa-apa."

"Jangan. Biar aku antar."

"Tidak," Aimee menggeleng. Dia tersenyum kecil namun raut wajahnya tegas. "Aku tidak ingin Cici tahu di mana aku tinggal."

Laura terdiam. Dalam hati Laura mendengus kesal. Kenapa? Apakah Aimee pikir jika Laura tahu di mana Aimee tinggal selama di Jakarta, dia akan mendatangi Aimee?

Apakah Aimee pikir, Laura akan memberi perhatian dan menjenguknya? Apakah Aimee pikir, Laura akan tiba-tiba datang dan mengajaknya pergi bersama?

"Memangnya kenapa?" tanya Laura dingin.

Aimee meremas-remas jarinya sambil menatap lantai parket tempat dia berpijak, memandangi alur-alur urat kayu berwarna cokelat muda itu sebelum kembali mengangkat kepalanya.

Dia membalas tatapan Laura dengan senyum getir. "Sebab kalau Ci Laura tahu di mana aku tinggal, nantinya aku akan terus menerus mengharapkan Cici datang mengunjungiku. Aku tidak mau menjadi sedih karena mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi."

Laura tertegun. Di atas sofa dia hanya duduk terpaku. Saat Aimee mengucapkan terima kasih dan berpamitan pun Laura tidak menyahut.

Bahkan Laura masih terpatri pada tempatnya jauh setelah Aimee keluar dan menutup pintu apartemennya.

Ucapan Aimee seolah petir di siang bolong yang menyambar dirinya. Kata-kata Aimee seolah telah menampar Laura.

~

JAGA MALAM [Wattys 2018 Winner]Where stories live. Discover now