Paradox Of Love

22 0 0
                                    

Sudah hampir empat jam kami menghabiskan waktu di sebuah kafe yang terletak di sudut pusat perbelanjaan ibu kota. Bahkan mentari pun enggan untuk menampakkan wajahnya lagi, terlalu lelah menemani tawa riang yang keluar setiap kali kami bercanda.

Hey, Bulan, sekarang adalah giliranmu untuk mengawasi mereka. Aku ingin istirahat. Dua insan manusia yang sudah lama tidak bertemu selalu menghabiskan banyak waktu. Mungkin seperti itulah yang akan diucapkan matahari apabila ia memiliki mulut untuk berbicara.

"Ah, sudah malam rupanya," ia melihat jam tangan miliknya dimana tertera tulisan Alexandre menghias di bagian dalam dinding tersebut. Aku sangat familiar dengan jam itu. Kurang lebih sekitar tujuh tahun yang lalu, aku membelinya dengan mengorbankan uang jajanku selama dua bulan. Tidak cukup mewah, tapi terbilang mahal jika kau membelinya saat masih berstatus seorang mahasiswi.

"Kau masih menyimpannya ya, bahkan kau menggunakannya. Aku tidak menyangka jam ini bakal awet," aku memegang jam tangan tersebut, menyentuh perlahan seraya tersenyum. Mengingat-ingat kembali alasan demi alasan mengapa dulu aku sangat ingin membelikannya. "Apa ada acara resmi hari ini?"

Dia melihatku dengan wajahnya yang cerah itu. Aku memang sudah khatam hal-hal mengenai dirinya. Seperti saat ini, dia hanya akan menggunakan jam tangan yang kuberikan apabila ada acara resmi yang hendak ia datangi. "Aku tadi sebenarnya ingin bertemu dengan rekan kerjaku. Ada yang perlu dibahas untuk pertemuan besok."

Aku mengernyitkan dahiku, sedikit heran dan juga merasa bersalah. "Ah, maaf. Seandainya kamu bilang jika ada urusan, aku tidak akan membiarkanmu menemaniku disini terlalu lama."

Dia tertawa singkat. "Tidak apa. Lagian aku sudah membatalkannya dari awal kita bertemu tadi," dia berkata seolah pertemuan ini adalah takdir yang sudah ia rencanakan dengan Tuhan. Sesekali ia menyedot teh miliknya, dengan gula sedikit tentunya karna dia tidak suka yang manis-manis. "Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Ra. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kabarmu semenjak terakhir kali kita chattingan. Sudah berapa lama ya? Sekitar enam bulan yang lalu kan?"

Sejujurnya itu adalah diriku yang mencoba untuk behenti mengabarinya. Ah, mungkin lebih tepatnya aku mencoba untuk tidak membalas pesan singkat darinya. Sesekali dia memang bertanya tentang keadaanku. Memang, terkadang susah untuk menghilangkan sebuah kebiasaan. Tapi jika tak dicoba, kita hanya akan menggali lubang lebih dalam bukan? "Haha, maaf aku agak sibuk saat itu."

"Hahahaha," ia tertawa lebar, bahkan badannya jatuh hingga mengenai sandaran kursi. Aku heran, apa yang lucu dari ucapanku? "Level Project Manager memang beda ya," aku tersipu malu mendengarnya berbeicara begitu. Terakhir kali kami saling berkabar, memang aku bilang padanya jika aku naik pangkat. Setelah empat tahun bekerja, aku bisa mendapatkan titel yang prestisius di perusahaan tempatku bekerja. Tentu bukan perkara mudah, karna selama itupun aku selalu fokus pada karirku sehingga tidak sempat memikirkan lelaki yang kelak akan menemaniku hingga akhir hayat. Aku masih single hingga saat ini. Umurku sudah 28 tahun dan aku masih jomblo. Genap sudah delapan tahun lamanya aku tidak bisa berpaling dari kenyataan. Bukan berarti aku tidak tertarik dengan makhluk adam, ataupun aku tipikal wanita yang mengutamakan bibit, bebet, bobot calon pasangannya. Melainkan, jika ada seseorang yang terlanjur membawa hatimu pergi bersamanya hingga tak mampu kau jangkau, apa yang bisa kau berikan untuk mereka yang mencintaimu dengan tulus?

Aku menyedot habis sisa-sisa green tea latte yang tadi aku pesan, berbarengan dengan es teh, dengan sedikit gula, miliknya. "Yuk, pulang." Kataku seraya melirik jam tangan berwarna kecoklatan milikku. Sudah jam 8 malam rupanya. "Kita sudah terlalu lama disini," aku membereskan telepon genggam, dompet, dan kertas tagihan untuk kujejalkan kedalam tas kecilku.

"Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi, Ra?"

Aku berhenti sejenak dari aktivitasku tadi. Melihatnya yang sedang menatapku dalam. "Entahlah," ucapku sambil mengangkat kedua bahuku. Aku menunduk, berusaha untuk tak terus-menerus menatapnya.

----------

Sesampainya didepan kafe, kami mulai memisahkan diri. Saling melambaikan tangan dan melangkah menjauh.

Satu langkah..

Dua langkah..

Tiga langkah..

Aku berhenti. Ku pandangi siluet diriku yang terpantul di lantai pusat perbelanjaan ibu kota ini. Kakiku tak juga mau melangkah pergi. Perlahan tapi pasti, badanku berputar arah, memandangi punggung miliknya yang mulai menghilang di tengah keramaian. "Val!" Tanpa sadar aku meneriakkan namanya.

Ia tersentak, lalu menolehkan kepalanya untuk menemui sumber suara. "Ya?"

Terurai sebuah senyuman khas miliknya yang secara sederhana mampu mengalihkan pandangan semua orang yang sedari tadi memerhatikan kami akibat teriakanku memanggil namanya. "I'm still waiting," ucapku tegas.

Raut wajahnya mendadak berubah, senyuman itu hilang. Hanya ada kerutan-kerutan yang tersisa. Memang dia sudah mulai menua, tetapi kerutan ini bukan berasal dari otot-otot wajahnya yang melemah. Dia hanya beda dua tahun lebih tua dariku. "Please, don't."

Tatapannya penuh iba. Ia melihatku seakan sedang melihat seorang pengemis. Sulit untuk kuakui, tapi ya, aku memang pengemis. Aku meminta-minta belas kasih padanya agar ia memberikan hatinya padaku. Mata kami saling memandang. Ada cerita pilu dalam tatapan ini, cerita yang tak mampu diucapkan, hanya sanggup untuk dirasakan. "But, I am still," ucapku lirih.

Sudah sejauh ini aku mencoba melupakan. Sudah selama ini aku membangun dinding untuk memisahkan kita. Tapi kenapa hanya dengan sebuah pertemuan kecil yang tak disengaja mampu membuat pertahananku rubuh? Ironisnya, sampai detik inipun kau tetap tak sanggup menerimaku.

Even if it's the end of the day, I still can't reach you.

Paradox Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang