[11] Klub Sastra

41K 7.6K 2.9K
                                    

Gadis berhijab yang menjabat sebagai ketua klub Sastra itu menjelaskan tugas yang diberi kak Wirda.

"Untuk lomba puisi kali ini mengusung tema islami teman-temanku.
Untuk penyeleksiannya, masing-masing dari kalian bisa mengirim satu puisi dan akan langsung dipilih oleh kak Wirda." Fatiha menjelaskan dengan seksama kepada lima orang anggota klub Sastra.

Diantaranya ada Jarjit, Susanti, Dennis, Vina dan Fatiha.
Bukannya klub Sastra sepi peminat, hanya saja yang lolos seleksi masuk klub hanya mereka berlima dari 50 siswa yang mendaftar. Warbyaza.

Padahal seleksi masuknya tidak susah-susah amat, menurut Jarjit.
Hanya sekedar menjomblokan diri, dan dari 50 pendaftar, 45 sisanya tidak bersedia untuk memutuskan pacarnya.

Jarjit sih oke-oke saja.

"Kalian bisa bikin puisinya dari sekarang, deadline seperti biasa, seminggu dari sekarang." tambah Fatiha.

Jarjit segera berdiskusi dengan Dennis, cowok berkaca mata itu mengeluarkan bukunya.

Jarjit segera berdiskusi dengan Dennis, cowok berkaca mata itu mengeluarkan bukunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Iching masuk tipi gays.

"Udah kepikiran puisinya, Den?" duh Jarjit udah berasa supir aja manggil si Dennis, ya gimana, kalo dia manggin Nis rada ambigu gitu. Hm.

"Gue mau bikin puisi tentang ibu, Jar." jawab Dennis kalem, Jarjit sih hanya manggut-manggut saja.

"Gue tentang apa ya.." gumam Jarjit seraya melempar pandangan ke luar jendela ruangan yang tepat membingkai potret Devi sedang tertawa.

"Aha!" jika Jarjit masih menjadi tokoh animasi, pasti di atas kepalanya akan terdapat bohlam kuning yang menyala, tetapi berhubung ia sudah naik jabatan menjadi tokoh cowok tampan di wattpad, bohlam ide Jarjit hanya dapat dibayangkan oleh para readers.

Jarjit segera menuju pojokan dan menulis puisinya.

Bagimu aku itu apa?
Ilusi seperti idgham bigunnah?
Yang menunjukkan eksistensinya,
Namun tidak kau anggap?
Atau seperti idgham mutamatsilain?
Yang dengan seenak hati mengidghamkan diriku padamu?
Apa mungkin yang lebih parah,
Diriku bagai idgham mutaqoribain?
Yang terus memaksakan kehendakku padamu?
Setidaknya tolong beri tahu aku,
Apa arti diriku di hidupmu?

"Lu kira lagi belajar tajwid apa!" Susanti mengomentari puisi milik Jarjit. Iya sih ada unsur islaminya, ya tapi nggak tajwid-tajwid amat.

"Eh bujug, kaget gue."

"Mantan pacar pdkt sama temen,
Kaga sopan banget sih men!" Pantun Jarjit yang tumben-tumbenan menyindir Susanti.

"Ke Sumedang beli mizone,
Kasian amat sih lu kena friendzone." balas Susanti membuat Jarjit berdecak.

Iya yeorobun, puisi itu buat Devi.

Sementara di pojok lain, Dennis sedang merangkai kata-katanya.

Ibuku..
Malaikat tanpa sayapku
Ibuku..
Yang namanya disebut Rasulullah tiga kali
Ibuku..
Anaknya nenekku
Ibuku..
Anaknya kakekku
Ibuku..
Kakaknya tanteku
Ibuku..
Adiknya pamanku
Oh ibuku..

"Eh Den, lu kira lagi nulis silsilah keluarga apa." Susanti terbahak membuat muka Dennis memerah menahan malu.

Si Susanti ini, udah kayak lambe turah, kerjaannya ngegosip mulu.
Kalo nggak ngegosip ya gini, ngejek orang yang tidak bersalah.

Tuk

Jarjit menjitak kening Susanti membuat sang empunya mengaduh.

"Nyinyir banget sih lu, San. Daripada nyinyirin orang mending lu buat puisinya deh!"

"Biasa aja dong, baperan amat sih jadi cowok." hadeuh, zaman jigeum, yang harusnya dia minta maaf malah ditopengi dengan kata baper.

Aya aya wae budak jaman ayeuna.

Yhaaa:(((

When Upin Ipin Are AdultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang