*23*

704 33 26
                                    

Arva menatap jalanan kota di malam hari dari balik kaca jendela taksi. Malam itu dia bertekad untuk menemui Erka, pasalnya sudah hari ke lima sahabatnya itu tak memberi kabar, jangankan memberi kabar, menjawab panggilan atau membalas pesan darinya pun tidak.

Ia tidak menginginkan apapun melainkan sang sahabat yang kembali menyapa dirinya seperti sedia kala. Arva merasa kehilangan. Ya, ia merasa kehilangan saat tak ada Erka untuknya, bahkan disaat dirinya sedang bimbang akan perasaannya beberapa hari yang lalu.

Arva rela tak menggubris Lana yang notabennya masih memiliki status sebagai kekasihnya. Berulang kali Lana menghubunginya, tapi enggan untuk Arva jawab. Rasanya, semua perasaan yang dulu hadir hanya untuk Lana lenyap entah kemana. Dia tidak ingin melakukan hal demikian, tak juga ingin lari dari semua hal yang sudah terjadi. Hanya saja, Arva lebih memilih untuk bertemu dan berbicara dengan Erka terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Lana. Ia berpikir, bisa saja setelah Arva bertemu Lana dan berbaikan, kekasihnya itu kembali untuk melarangnya bertemu dengan Erka.

Arva dengan tangan gemetar berusaha menekan bel pintu apartemen Erka. Saat tangannya hendak menekan bel tersebut, suara pintu apartemen Erka terbuka dan menampilkan seorang pria yang sudah sangat ia kenali.

"Ah, ada Arva rupanya," ucap pria tinggi itu sembari membenarkan letak kacamatanya yang sebenarnya sudah benar.

Arva tercekat berusaha tersenyum. "Sedang apa kau di tempat Erka, Rey?" tanya Arva penuh selidik.

"Oh, aku---"

"Kenapa belum pulang, Rey?" tanya si empunya apartemen dari balik pintu yang melihat Rey masih di ambang pintu apartemennya.

Erka, dengan baju rumahannya membuka pintu lebar-lebar dan terkejut mendapati sahabat yang disayanginya berada di sana. Mata Erka dan Arva bertemu untuk beberapa saat.

Rey yang merasakan atmosphere yang kuat dari keduanya berusaha pamit untuk segera pergi dan meninggalkan mereka berdua.

"Ka, aku pamit sekarang ya," ucap Rey sambil mengusap pelan puncak kepala Erka yang disambut anggukan dari Erka. Rey bergegas pergi dan tak lupa memberi senyum perpisahan pada Arva.

Erka masuk tanpa memberikan aba-aba untuk Arva mengikutinya. Namun bukan Arva namanya kalau dia tidak menerobos masuk sebelum pintu apartemen itu dikunci oleh pemiliknya.

"Aku tidak tahu alasan apa kau menjauhiku, Ka," ucap Arva tanpa pikir panjang saat ia sudah berada di dalam apartemen sang sahabat dan menutup pintu rapat-rapat.

"Aku tidak punya alasan," jawab Erka tanpa berbalik menghadap Arva.

"Tidak punya katamu?" suara Arva terdengar meninggi. Dengan segera ia mendekati Erka dan berdiri berhadapan dengannya. Erka menggeleng tanpa melihat Arva.

"Apapun alasan menjauhiku, katakan saja meskipun itu menyakitkan," ucap Arva, nadanya terdengar memelas.

Erka melirik ke arah Arva yang sedang menatap dirinya penuh harap. "Meskipun aku harus sakit mendengar alasanmu, aku akan mendengarnya," lanjut Arva.

"Kau yakin?" tanya Erka memastikan sambil memicingkan kedua matanya menatap Arva. Arva mengangguk mantap menjawab pertanyaan Erka.

"Bagaimana jika aku bilang alasanku menjauhimu karena aku sudah kembali pada Rey?" jawab Erka yang lebih tepat seperti pertanyaan.

Arva terbelalak, bibirnya terkunci, ingin mengeluarkan suara tapi tercekat. Ia masih terus menatap Erka yang membalas menatapnya dengan tatapan sungguh-sungguh.

"Kau bohong. Ku yakin itu tidak benar," ucap Arva pada akhirnya.

"Kau lihat sendiri tadi Rey datang kesini kan, kuharap kau tidak buta, Ar," balas Erka dengan pasti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Give me your love...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang