*3*

3.3K 171 9
                                    

Sesampainya di apartement, aku langsung melepas sepatu dan menaruhnya rapi di rak sepatu. Mengambil sandal khusus untuk di dalam, lalu menggunakannya. Masuk ke dalam kamar dan melempar tas kerjaku ke ranjang. Duduk di pinggir ranjang kesayanganku sambil melonggarkan dasi dan membuka beberapa kancing kemejaku.

"Hhaahhh~ apa yang harus aku lakukan?" tanyaku seraya merebahkan diri di ranjang.

Aisshhh aku memikirkan pertanyaan Lana tadi. Apa yang harus kujawab? Aku bingung sungguh. Dan sejujurnya aku ingin sekali terus bertemu dengannya, tapi mengingat ucapannya tadi bahwa "kalau kita bertemu lagi, jawab pertanyaanku ya." Suara Lana berputar di otakku. Rasanya aku tidak mau bertemu lagi dengannya. Aarrgghhh~ raung-raungku frustasi seperti manusia harimau sambil mengacak-ngacak rambutku.

Baiklah, lupakan dulu masalah Lana. Mungkin saja untuk meredakan kebingunganku, aku harus bicara dengan Erka, pikirku. Aku mendudukkan diri di tepi ranjang, meraih ponselku di kantong lalu mencari nama Erka di daftar kontak.

Tuuttt. Tuuttt. Tuuuttt

Klek..

"Ada apa Arva?" suara Erka dari seberang telepon.

"Tidak ada apa-apa, Ka. Hanya saja aku ingin kau temani," jawabku seraya bangkit dari duduk dan berjalan keluar kamar.

"Jangan bilang kau rindu padaku, Ar. Aku memang ngangenin, tapi tidak bisa kah kau menahan rindumu itu? Kita bertemu besok di kantor," candanya. Sudah kuduga Erka akan seperti ini.

"Aku salah orang jika aku menghubungimu Ka. Tapi apa daya, hanya kaulah yang aku punya." Oke, dengan sedikit suara dibuat-buat memelas aku yakin Erka tidak akan bercanda lagi.

"Ada sesuatu yang serius terjadi kah? Kau bertemu dengan pujaan hatimu?" Hu'um.

"Terus kalian berdua pergi ke suatu tempat, ah lebih tepatnya ke hotel dan di situ kau diperkosa olehnya? Ayo katakan sesuatu Arva, katakan! Aku mengkhawatirkanmu!" Aku gagal paham padanya, sungguh. Tak sebodoh itu aku bisa diperkosa. Untuk apa Lana memperkosa aku? Kalau dengan menyerahkan diri saja aku bisa, ngapain susah payah Lana memaksa untuk memperkosaku. Akhirnya aku sadar dengan apa yang aku ucapkan OTL

"Kau ini bicara apa Erka! Imajinasimu itu terlalu berlebihan. Sungguh!" jawabku sedikit kesal.

"Ya habis suaramu tiba-tiba melas seperti itu. Aku pikir ada sesuatu hal yang serius terjadi," balasnya.

"Aku bingung, karena Lana menanyakan suatu pertanyaan yang aku gak tau harus menjawab apa, Ka." Aku menghela nafas, menghimpit ponselku dengan pundak ketika aku menuangkan segelas air.

"Pertanyaan? Dia menembakmu? Begitukah?" tanya Erka antusias.

"Dia tidak menodong pistol ke arahku, lagi pula kalau aku ditembak, aku tidak bisa meneleponmu sekarang. Bisa jadi aku sudah di peti," jawabku kalem, menenggak air mineral yang aku tuang tadi. Segarnya.

"Kau bukan temanku, Ar. Kau terlalu bodoh kurasa." Dari nada bicara Erka, dia seperti frustasi mendengarkan aku.

"Kau juga bodoh, Ka. Tak menyadarinya?" balasku.

"Lebih baik pembicaraan ini kita sambung besok di kantor," usulnya.

"Baiklah."

"Awas ya besok di kantor kau lebih bodoh dari hari ini," ancamnya. Berani sekali dia mengancamku. Lagipula yang bodoh siapa? *Semua serentak bilang ARVA*

"Aku tidak peduli," kataku. "Selamat malam, Ka," sambungku mengakhiri telepon.

*_*_*_*_*

Aku sampai kantor terlebih dahulu dibanding Erka. Seperti biasa aku membuka laptop dan mengecek pekerjaanku ataupun email yang masuk.

Give me your love...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang