"Oh.. kirain kenapa.."

"Mas bisa ke sini gak bawain baju ganti aku sama Nadia? Aku tadi buru-buru"

"Hmm.. kayaknya kalau malam.ini gak bisa deh, Ran. Masih ada urusan, besok agak siangan deh ya ke sananya. Lagian Nadia juga pake baju pasien kan? Kalo diapernya beli aja di mini market, gak usah ribet."

"Mas, ini anaknya sakit, lho! Bukan mau piknik, kamu kok gak ada khawatirnya banget." Ujarku agak emosi. 

"Kan udah dirawat, ngapain khawatir? Udahlah ga usah berlebihan, besok aku ke sana. Kamu jagain Nadia yang bener makanya tuh kata Mami, anak kok bisa sampe dirawat."

"Ya Alloh, Mas... Siapa sih yang mau anak sendiri sakit? Aku juga gak mau, Mas.. Kok tega banget bilang begitu?" Perlahan air mataku turun tanpa bisa aku tahan lagi.

"Udah deh, Ran. Aku gak mau ada drama, aku lagi nyetir nih. Kalau aku kecelakaan karena emosi salah kamu lho ya! Udah ya"

Sambungan telepon diputus begitu saja, aku menatap layar ponselku dengan perasaan bercampur aduk. Bunda yang mendengar pembicaraan kami tadi kini mengelus punggungku.

"Yang sabar ya, Ran. Nanti habis makan, kita ke rumah sama Papi ya? Biar Adya jagain Nadia di sini dulu."

"Adya kan besok kerja, Bun.."

"Lho? Kan sekarang Adya ngurusin restoran Bunda, Bunda boss-nya hehehe. Jadi ini perintah, kalau Adya menolak ngurusin Nadia, Bunda pecat langsung, hehehe" ujar Bunda sambil bercanda.

"Iya deeeh yang jadi booooos, hehehe" timpalku.

Aku bersyukur kini memiliki Bunda Ai yang sama sayangnya seperti Mamaku sendiri. Aku belum memberitahu keadaan Nadia ke Mama dan Papaku karena takut mereka khawatir, mungkin kalau keadaan Nadia sudah lebih baik aku kan segera mengabarkan mereka.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Karena terlalu lelah, tak sengaja aku tertidur sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju rumah. Panggilan Bunda membangunkanku.

"Ran...Ran... sudah sampai."

"Euhmm.. Aduh, maaf ya Bun, Pi, Rani ketiduran."

"Gak apa-apa, kamu pasti udah capek banget, Papi ngerti kok."

"Eh, Ran.. Kata kamu si Angga di rumah Maminya, kok itu mobilnya di garasi?"

"Hah?" Aku menoleh ke arah garasi, ya..mobil Mas Angga terparkir di sana, tapi lampu depan masih gelap. "Mungkin Mas Angga cuma taruh mobil di rumah, Bun.. Buktinya lampu depan masih mati. Kalau Mas Angga di rumah, pasti dia nyalain kan".

Aku turun dari mobil, perlahan membuka pintu rumah.

"Kok lampu kamar nyala, Ran?"

Perasaanku tak enak seketika. Aku bagai tersambar petir saat berdiri di depan pintu kamarku. Aku mendengar suara desahan wanita memanggil nama Mas Angga. Kubuka pintu kamarku dengan berat hati, dan di sana... di atas ranjang kami.. ranjang yang menjadi saksi kemesraan kami.. aku melihat tubuh suamiku tengah bersatu dengan wanita lain.. ya.. Nevita.

"Astaghfirullah, Mas Angga." Desisku

"Ah, Ran.. Bukannya kamu di rumah sakit ngurusin Nadia."

Mas Angga mengambil pakaian dan memakainya sekenanya.. Sementara wanita itu berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut. Aku masih berusaha setenang mungkin. Aku meyakinkan diriku bahwa mungkin inilah pertanda dari Tuhan atas do'aku tentang rumah tanggaku.

"Ya, aku mengurus ANAK KITA tadi, tapi ada yang harus aku ambil dan ternyata ini yang kau maksud ada urusan. Baiklah, maaf mengganggu." Aku memberi penekanan pada kata Anak kita agar dia sadar bahwa Nadia tanggung jawab kami berdua, bukan hanya aku.

"Ran, biar aku jelasin kejadiannya."

"Sudah, jelaskan saja nanti di pengadilan agama, Mas. Aku hanya ambil beberapa bajuku untuk sementara, barang-barangku dan Nadia akan kuambil bertahap, dan tolong urus surat cerai kita segera"

"Ran.. aku gak mau bercerai, bagaimana dengan Nadia nantin Raan.."

"Jika kamu memikirkan Nadia, tentu kejadian hari ini tak akan ada. Baiklah, biar aku yang urus surat cerai kita agar kamu bisa segera menikah dengan wanita itu. Aku gak mau bapak anakku terus berzina."

"Tapi Ran..."

"Ini gak seperti yang aku bayangkan? Begitu maksud Mas? Memang Mas tau apa yang aku bayangkan? Yang pasti aku melihat suamiku, atau setidaknya pria yang secara hukum masih menjadi suamiku berzina dengan perempuan lain di atas ranjang yang aku tiduri setiap hari. Kini aku harap kamu bersabar hingga proses cerai kita selesai lalu menikahlah dengan baik. Dan kamu Vita, saya rasa kamu orang yang berpendidikan tinggi tau bahwa ini semua salah."

"Mas Angga mau aja kok aku sama dia, kami sama-sama mau, satu-satunya yang salah ya keberadaan kamu." Sahut Nevita dengan ekspresi yang sungguh membuatku mual.

"Saya awalnya berbaik sangka bahwa kamu pasti adalah wanita yang memiliki otak yang cerdas sehingga kamu bisa berpikir bahwa mendekati suami orang lain itu perbuatan yang salah. Atau setidaknya kalau kamu tidak memiliki otak, kamu memiliki hati sehingga kamu bisa merasakan jika kamu berada di posisi saya. Tapi ternyata saya salah. Mungkin memang kamu tidak memiliki otak dan hati sehingga kamu melakukan hal tercela ini. Maka karena kamu tidak memiliki keduanya, saya memaklumi perbuatanmu."

Mas Angga hanya terdiam mendengar perkataanku. Aku mengatakan semuanya dengan nada yang datar sekali. Aku tak mau marah-marah dan membuat gaduh di tengah malam buta begini. Lagipula aku merasa mereka tak berhak membuatku kehabisan energi hanya untuk memaki perbuatan mereka.

Aku mengambil beberapa bajuku dan Nadia, kemudian perlahan meninggalkan mereka berdua di kamar. Papi dan Bunda menunggu di ruang tengah karena mereka tak mau ikut menambah masalah walau dari raut wajah mereka berdua tergurat jelas emosi yang menyala-nyala.

"Ran... kamu jangan semena-mena tinggalin aku." Mas Angga keluar dari kamar dan menarik pergelangan tanganku.

"Lepas, Mas. Aku tak sudi disentuh oleh tanganmu yang masih kotor itu." Jujur saja aku jijik saat membayangkan tanganku disentuh oleh tangannya yang tadi meraba-raba wanita itu.

"Kamu janji dulu gak akan pergi."

"Lepas, Mas!!" Aku menyentakkan tanganku lagi.

"Angga, lepaskan Rani. Papi kecewa, Ngga. Papi gak pernah mengajarkan kamu menjadi bajingan." Akhirnya Papi berdiri dari sofa tempatnya duduk.

"Papi gak usah ikut campur. Papi gak punya hak!!"

"Jelas punya. Rani itu Ibu dari cucu Papi, jadi Papi wajib melindungi dia. Ayo, Ran kita pergi."

Akhirnya aku keluar dari rumah, serta merta tangis yang tadi kutahan keluar di pelukan Bunda. Bunda menemaniku di kursi belakang mobil Papi.

"Menangislah, Ran..."

ForgivenOnde histórias criam vida. Descubra agora