part 15

1.3K 121 7
                                    

Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar Rebecca-Mama Nick. Wajahnya lantas berseri begitu melihat Nick kecil yang berlari ke arahnya dan memeluknya. Rebecca mengusap kepala Nick dan melihat keluar jendela, "Kenapa gak main sama mereka?"

Nick mengikuti arah pandang mamanya dan melihat tiga anak seumurannya yang mengendarai sepeda dengan canda dan tawa mereka. Dia kembali menghadap mamanya. "Tidak, Nick mau jagain mama aja. Mama mau makan apa?"

Rebecca pura-pura berpikir lalu menjawab, "Pokoknya yang paling enakk."

"Oke!"

Rebecca melihat kepergian putranya dan sebuah kristal bening jatuh dari pelupuk matanya.

Nick menuju dapur dan para pembantu rumah tangga mereka langsung bersiap-siap membantu tuan muda mereka. Dia menaiki kursi kecil karena tingginya yang tidak mencapai meja dapur.

Semua makanan yang masuk di mulut Rebecca terasa hambar. Tapi Nick selalu bisa mengubah makanan yang dianggap tidak enak itu menjadi sesuatu yang lebih lezat. Orang-orang menyebutnya dia memiliki bakat. Dia tidak mengerti apa itu bakat dan tidak terlalu peduli karena yang dia pedulikan adalah mamanya harus tetap makan.

Dia membawa sepiring sandwich ke tempat di mana mamanya terlihat semakin kurus di atas kursi rodanya. "Mama, ini..."

"Nick sudah membereskan dapurnya?"

"Oh, iya! Nick lupa ... tunggu ya Ma, Nick bersihin dulu," ujarnya buru-buru lari ke depan. Sebelum mama tidak bisa bergerak lagi karena kanker darah yang dialaminya, mama selalu berdiri di samping Nick saat berada di dapur. Dan satu pesan mama yang selalu dia ingat adalah selalu bersihkan dapurmu sendiri setelah kamu mengacaukannya.

Dia memamerkan senyum lebarnya saat kembali ke kamar Rebecca. Tapi senyumnya berubah menjadi datar ketika dia melihat mata mamanya tertutup. "Ma?" Tangan kecilnya mengelus pipi Rebecca dan kembali bersuara. "Ma?"

Air matanya tiba-tiba saja turun tanpa dibendung. Kali ini dia berteriak lebih keras agar mamanya bangun. "Ma! Mama!!" Lututnya lemas dan terkulai di lantai sambil memeluk kaki Rebecca erat. "Mama!! Nick belum masakin mama makanan enak. Mama harus bangun."

**

Matanya sontak terbuka dan bangkit duduk di kasurnya. Kain yang semula berada di dahinya jatuh di atas selimut begitu juga dengan air matanya. Dia menangis dalam diam mengingat sekelabat memori masa lalu yang berputar dalam pikirannya.

Setelah menenangkan diri, dia baru tersadar ada orang lain yang berada di ruangannya. Dia menyibak selimutnya dan turun menuju ke arah sofa. Dipandangnya Tiffany yang terlelap dengan tangan sebagai bantalan. Dia meraih kepalanya pelan untuk mengendongnya. Tapi ternyata Tiffany langsung tersadar karena sensitif dengan pergerakan kecil. Salah, lebih tepatnya dia tidak bisa tidur nyenyak karena sesekali mengganti kompres Nick.

"Chef? Sudah baikan?" Pertanyaan pertama yang Tiffany ajukan begitu melihat Nick di hadapannya. Dia duduk dan memeriksa suhu tubuh Nick dengan meletakkan telapak tangannya di dahi Nick. Sudah tidak panas tapi pandangannya jatuh di mata Nick yang tampak berair.

Dia segera menurunkan tangannya dan terkesiap melihat air mata yang mengalir di pipi Nick. Tapi pria itu segera memalingkan wajahnya ke sampingnya. "Chef mimpi buruk?" lirihnya.

Nick meluruskan pandangannya lagi ke arah Tiffany. Satu detik, dua detik, tiga detik, dan dia tidak bisa menahan diri untuk memeluknya.

Seakan oksigen yang disekitarnya menghilang ketika tubuhnya ditarik dan dipeluk erat. Tiffany tidak memberontak dan dia hanya menepuk punggung Nick pelan. Hal sama yang Nick dulu pernah lakuin ketika dia menangisi ayahnya.

Chasing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang