5 | The Story of Us in the Past

52.5K 3K 44
                                    

No komen panjang lebar, Happy Reading!
.
.
.

Part 5 The Story of Us in the Past
.
.

Jangan jadi pengecut
Yang bisanya sembunyi di balik rasa takut
Dan pikiran aneh yang bikin kalut

Flashback.

Perpustakaan yang tenang membuatku bisa fokus membaca buku cetak ekonomi, menjelang ujian semester begini, biasanya anak-anak di kelasku akan sangat berisik dengan heboh membuat jadwal belajar bersama yang menurutku tidak membantu. Mereka−yang menurut guru−kurang mampu belajar sendiri, harus meminta bantuan pada teman sekelasnya yang lebih hebat dalam mencerna pelajaran. Namun sayangnya, aku tidak sebaik itu hingga merasa wajib untuk membantu teman-teman sekelasku belajar. Menemani Gabriel belajar saja sudah sangat melelahkan, apalagi menemani yang lainnya. No, thanks.

Tiba-tiba, di sela kesibukanku membuat rangkuman belajar untuk ujian, aku mendengar derap langkah sepatu. Kedengarannya orang itu berlari. Huh, dasar tidak tahu aturan. Di perpustakaan, hanya boleh suara semilir angin yang terdengar!

"Alifya!" serunya yang persis di sebelah telinga kiriku. Untung aku bisa mengendalikan emosi, telingaku berdenging karena suara soprannya yang memekakkan dan itu sangat menyebalkan!

Aku mendelik ke arahnya dan dia terlihat bergidik ngeri karena tatapanku. "Apa?" sahutku ketus. Sudah mengganggu jam belajarku, teriak-teriak pula.

"Lo nggak dukung El? Dia lagi tanding basket sama anak IPA sekarang."

Aku mengernyit. Selama dua tahun, anak ini tidak sekelas denganku dan Gabriel, baru sekelas saat di kelas dua belas. Makanya aku bingung kenapa dia menyebut Gabriel dengan nickname kelewat keren begitu. El.... Aku jadi inget El anaknya Maya Estianty, bukan El untuk Gabriel.

"Kan, belum ujian, kok udah classmeet?" Biasanya, Gabriel hanya turun di saat pertandingan basket class meeting setiap selesai ujian semester tiap tahun. Itu pun sebagai pemain cadangan. Maaf aja, Gabriel itu payah kalau soal olahraga yang rebutan bola. Tapi, urusan berantem? Tinggal pilih, mau langsung ke rumah sakit atau klinik sekolah dulu?

"Bukan, dia tuh diajak tanding basket gitu sama anak IPA 1, denger-denger sih, gara-gara rebutan cewek. Gue rasa, ngerebutin lo deh, Fy," katanya sambil merapikan buku cetak ekonomi, note dan pulpenku di atas meja. Rajin banget lho dia, padahal tidak disuruh ..... Lho, kok dia beresin barangku?! Tidak sopan!!

"Mending lo ikut gue ke lapangan, nonton, anak IPAnya ganteng! Gue denger-denger juga, dia itu juara satu paralel IPA selama dua tahun."

Aku menghela napas malas, buang-buang waktu banget sih Gabriel meladeni anak IPA itu. Padahal aku sudah bilang, menjelang ujian harus jaga kesehatan. Apalagi kami sebentar lagi mau ujian semester lima.

"Nggak deh, lo aja," balasku malas. Tapi entah kekuatan dari mana. Cewek itu menarik lengan kiriku hingga kami bisa melihat Gabriel dan cowok yang belakangan kutahu namanya Ario itu, sama-sama tertelentang di lapangan.

"Ya ampun, kenapa itu mereka?" Lilian, yang biasa dipanggil Lili, gadis resek yang sudah mengganggu jam belajarku heboh melihat kedua makhluk yang menjadi tontonan di tengah lapangan itu terjatuh dalam hitungan yang tak beda jauh. Ario jatuh lebih dulu, disusul dengan Gabriel tiga detik kemudian.

"Fy, ayo!" Lili berniat menghampiri Gabriel yang rupanya pingsan. Aku mendengkus.

"Lo aja, gue akan bantu dengan cara lain." Aku memutuskan ke kelas. Mencari buku tugas Gabriel untuk memastikan bahwa pelajaran berikutnya, anak itu tidak akan dapat masalah karena tugas matematikanya yang sering membuatku memijit kening.

Twenty Couple: Secret Wedding (TELAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang